Rabu, 22 Desember 2010

Cara Terbaik Mengendalikan Anak

Mini Post 20 Cara Terbaik Mengendalikan Anak 
Banyak orangtua dan guru yang mengikuti seminar  berkomentar “Oke, teknik yang Anda berikan untuk mengatasi problematika anak sangat bagus. Tapi, saya tidak yakin bisa menerapkan apa yang telah Anda ajarkan” lalu tanya saya “Apa sebabnya?”, “Pertama saya tidak disukai anak, berikutnya bagaimana mengkomunikasikan pada mereka ?”.


Cara Terbaik Mengendalikan Anak
Jelas ini adalah masalah, tapi tenang ada cara bagaimana mengendalikan perilaku anak. Tapi sabar dahulu sebab ada bagian yang harus Anda pahami dahulu.

Banyak dari orangtua dan guru bertanya dalam pikiran mereka sendiri :

* Mengapa anak saya tidak peduli dengan masa depannya?
* Mengapa mereka melakukan hal-hal yang tidak masuk akal (guru dan orangtua)
* Mengapa mereka tidak mau mendengarkan walupun sudah diingatkan berkali-kali?
* Mengapa anak saya membiarkan dirinya dipengaruhi oleh hal-hal negatif dari teman-temannya yang tidak berguna?

Nah, pertanyaan utama : bagaimana mengendalikan perilaku dan pemikiran mereka?
Jawabanya adalah EMOSI mereka. Emosi sangat menguasai logika berpikir mereka anak-anak dan remaja. Remaja dan anak-anak jauh lebih banyak didorong oleh perasaan mereka daripada pemikiran yang baik untuk mereka. Dengan mengetahui hal ini, maka sia-sia upaya kita mengkuliahi mereka seharian. Membombardir pikiran mereka dengan nasehat positif, menjadikan diri kita motivator dadakan didepan mereka tidak akan mempan. Justru membuat anak bertambah “sebal” dengan kelakuan kita. komentar atau nasihat seperti : “kamu harus giat belajar”, “jangan buang waktumu dengan bermain terus”, “jaga kebersihan dikamarmu”, kecuali bila kita sudah terlebih dahulu mengenali perasaan mereka.

Dalam kondisi emosi yang negatif seorang anak tidak dapat menerima input dan nasehat bahkan titah sekalipun yang dapat mengubah perilaku mereka. Berbeda hasilnya jika kita mampu mengerti dan mengenali perasaan emosi mereka terlebih dahulu maka mereka akan terbuka dan mendengarkan saran logis dari kita. Anak –anak dan remaja akan melakukan sesuatu jika membuat mereka merasa nyaman atau enak di rasanya atau hatinya.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita akan belajar bersama, bagaimana reaksi kita dalam menghadapi masalah anak. Seringkali jika ada masalah maka yang ada dibenak kepala kita umumnya ada 3 hal, yaitu :

1. Memberi Nasihat, misal: “saya tadi berkelahi dengan Agus, disekolah”, respon kita pada umumnya “apa-apaan kamu ini sekolah bukan tempat belajar jadi tukang berantem, hanya penjahat yang menyelesaikan masalah dengan berantem”
2. Menginterogasi, misal: “Hp saya hilang di sekolah” respon kita pada umumnya “kamu yakin bukan kamu sendiri yang menghilangkan? Yakin kamu tidak lupa, coba diingat kembali”
3. Menyalahkan dan menuduh, misal: “tadi Edo dihukum karena tidak mengerjakan PR” respon kita pada umumnya “dasar anak malas, mulai hari ini kamu harus lebih disiplin dan perhatikan tugas disekolah”.

Setelah melihat ketiga contoh diatas, tidak ada satu ruang pun untuk mengakui perasaan atau emosi anak, betul? Seringkali kita ini hanya memberikan masukan tanpa mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi (lebih tepatnya perasaan apa yang terjadi pada diri anak kita). Ketika emosi seorang anak diabaikan mereka akan lebih marah dan benci. Selama ini mereka berada dalam keadaan emosi negatif, semua nasihat-nasihat maksud baik kita tidak akan digubris, malah akan di “gubrak”.

Cara terbaik untuk mengendalikan anak kita adalah, mengakui emosinya (kenali emosinya) dan beri mereka kekuatan untuk menemukan solusi atas masalah mereka sendiri. Caranya adalah:

1. Dengarkan mereka 100%, tatap matanya dengan tatapan datar atau sayang. (Berikan perhatian dan pengakuan)
Terkadang yang dibutuhkan anak hanya didengar saja, bukan solusinya. Hanya memberikan perhatian 100% kita bisa terkejut, ternyata anak mau terbuka dan mau berbagi pikiran dan perasaan. Hanya dengan berkata “hmm.. okay, begitu ya.. lalu..” Walau nampaknya sederhana, jujur ini sulit bagi kita orangtua yang terbiasa mau ambil jalur cepat alias memberikan solusi dan menyelesaikan masalah. Ketika hal itu kita lakukan, anak akan menutup diri dan menghindar bicara kepada kita. Anak hanya akan meyatakan pikiran dan perasaan yang sejujurnya tanpa takut dihakimi.

Ketika kita biarkan anak mengungkap emosi dan pikirannya dengan bebas (saat kita ada untuk memberi dukungan emosional), kita akan melihat mereka dapat menemukan solusi sendiri untuk permasalahan mereka. Kelebihan lainnya dari pendekatan ini adalah anak akan mengembangkan rasa percaya diri untuk berpikir bagi dirinya sendiri dan menghadapi tantangan – tantangan hidup.

Misal : “saya tadi berkelahi dengan Agus, disekolah”, respon kita “apa yang terjadi? Lukamu pasti sakit sekali yah.. oh, okay”

2. Mengenali dan mengambarkan emosi.
Perlu bagi kita sesaat untuk mempelajari makna dari emosi, karena ini penting bagi kita untuk bisa mencerminkan emosi anak dan mengerti dengan pasti apa yang mereka rasakan. Dengan dimengertinya perasaan mereka, maka mudah bagi mereka untuk terbuka dan bicara tentang masalah mereka. Berikut adalah emosi yang umumnya dialami oleh manusia.

Nama Emosi dan Makna-nya :

1. Marah – Merasakan adanya ketidakadilan
2. Rasa bersalah – Kita merasa tidak adil terhadap orang lain
3. Takut - Kita diharapkan antisipasi karena sesuatum yang tak diinginkan bisa saja terjadi
4. Frustrasi – Melakukan sesuatu berulangkali dan hasilnya tak sesuai harapan artinya kita harus cari cara lain
5. Kecewa – Apa yang diinginkan tidak bisa terwujud
6. Sedih – Kehilangan sesuatu yang dirasa berharga
7. Kesepian – Kebutuhan akan relasi yang bermakna bukan hanya sekedar berteman
8. Rasa tidak mampu – Kebutuhan untuk belajar sesuatu karena ada sesuatu yang tak bisa dilakukan dengan baik
9. Rasa bosan – Kebutuhan untuk bertumbuh dan mendapatkan tantangan baru
10. Stress – Sesuatu yang terlalu menyakitkan dan harus segera dihentikan
11. Depresi - Sesuatu yang terlalu menyakitkan dan harus segera dihentikan

Baiklah kita mulai dengan satu kasus, jika anak Anda datang kepada Anda dan berkata “Joni tidak mau bermain bola dengan ku” apa jawab Anda? “Sini main sama papa/mama, maen sama yang lain saja ya atau ya sudah.. maen sendiri saja”. Ketiga jawaban ini sekilas adalah jawaban klasik, dan memang dibenarkan karena sering dipakai. Pertanyaan saya ada Emosi apa dibalik kata-kata anak tersebut? Betul!! KECEWA, KESEPIAN, nah kalau begitu responnya bagaimana? “Hmm.. nak kamu pengen banget ya maen sama Joni?” atau “Hmm.. kamu kesepian yah, pengen main ya?” lalu tunggu responnya, biasanya anak akan bercerita panjang lebar, kemudian solusi sebaiknya diserahkan kepada anak, caranya “lalu apa yang bisa Papa/Mama bantu buat kamu? Mau maen sama Papa/Mama? Atau ada ide lain?” Biarkan anak memilih solusi terbaik bagi dirinya. Hafalkan tabel diatas dan gunakan untuk berkomunikasi dengan anak, pahami seiap kasus yang dialami anak.

Dengan turut mengerti perasaan emosi anak dan membiarkan menemukan solusi masalahnya sendiri maka anak akan merasa dipahami dan nyaman. Serta akan tumbuh rasa percaya diri dilingkungan yang menghargai dia. Dan berikutnya akan mudah bagi anak untuk terbuka terhadap orangtuanya, dan sikap saling percaya antara orangtua dan anak akan terbentuk dengan baik.

Sampai kini, kita telah belajar bagaimana caranya agar anak terbuka dan percaya pada kita, betul? Berikutnya bagaimana caranya mengarahkan? Caranya setelah kita mendengar dan mengerti perasaan dan emosi anak, serta menanyakan solusi terbaik menurut anak (jika anak sudah mampu berpikir untuk solusi) tanyakan “bolehkah Papa/Mama usul?” setelah ada ijin dari anak maka berikan masukan yang Anda rasa paling mujarab. Terkadang cara pandang anak tidak sama dengan orangtua, kita tahu jika anak memilih solusi yang kurang tepat (menurut orangtua) dengan nilai, norma yang berlaku di lingkungan sosial maka kita bisa “menggiringnya” dengan mudah karena langkah 1 dan 2 sudah dilakukan. Tentunya dengan model komunikasi yang sopan dan tetap menghargai anak.

Pintu gerbang kekerasan hati anak akan terbuka lebar saat kita mau menerima dan mengerti anak kita, dan anak akan mempersilahkan kita masuk dan bertamu didalam lubuk hatinya yang paling dalam. Ditempat itulah kita dapat meletakan pesan, arahan dan masukan positif bagi kebaikan masa depan anak.

Saya paham cara ini butuh waktu, semua solusi cerdas untuk meningkatkan kualitas keluarga butuh waktu. Ada namanya “waktu tunggu” untuk suatu hasil yang istimewa. Masakan yang enak dan sehat butuh waktu dan proses didapur, tidak sekian detik jadi. Nah kualitas apa yang kita mau untuk keluarga kita?

LIMA JURUS JITU UNTUK MENG-HYPNOSIS ANAK

Mini Post 9 Lima Jurus Jitu Meng Hypnosis Anak

Banyak rekan dan sahabat mengeluh bagaimana mengatasi perilaku anak mereka, seakan-akan anak merupakan bumerang bagi orang tuanya, loh.. kok bisa tanya saya? “Iya, saya bilang jangan lari-lari, eh.. malah lari ” keluh bapak Kodir. Tentunya banyak teman atau saudara kita yang memiliki anak kecil yang mengalami hal serupa. Ada beberapa hal yang tidak diketahui oleh orang tua, bagaimana seorang anak memproses informasi yang dia peroleh. Otak yang berada pada diri anak kecil sangatlah jauh berbeda dengan otak yang ada di kepala orang dewasa, loh.. apa bedanya? Bedanya, seorang anak terutama usia 5 tahun ke bawah memiliki daya serap informasi yang sangat tinggi, mudah sekali mempelajari  segala sesuatu. Bahkan beberapa ahli mengatakan usia 0-3 tahun adalah Golden Age. Baiklah, ada beberapa cara ampuh untuk memodifikasi perlaku anak (dibawah 12 tahun), yang bisa saya bagikan.


A. Beritahu Langsung (Direct Suggestion)
Tehnik ini sungguh mudah dan gampang, Anda hanya perlu memegang kedua bahu atau ke dua tangan sambil mata melihat ke anak anda dengan tatapan datar, tidak bermaksud memarahi ataupun bercanda, dan mengatakan hal yang Anda inginkan misal “mulai besok dan seterusnya belajar adalah kegiatan yang menyenangkan”, katakan dengan nada yang tegas (bukan di bentak), sambil mata orang tua dan anak saling bertatapan. Ulang saja kata tersebut tiga kali setelah itu biarkan anak Anda melakukan aktivitasnya kembali, mudah bukan? Hanya tingal panggil anak Anda, pegang kedua bahu atau kedua tangannya (pertanda Anda mengajaknya berbicara secara serius) dan ucapkan kalimat saktinya “makin hari kamu makin…”. Satu hal penting yang harus diperhatikan saat menggunakan tehnik ini yaitu penggunaan kalimat negatif. Penjelasan penggunaan kalimat negatif akan saya jelaskan pada jurus ke 2, Bioskop Ajaib.


B. Bioskop ajaib
Nah ini jurus yang juga sangat mudah sekali, Bioskop Ajaib adalah jurus untuk memasukan sugesti dengan cara yang cepat dan akurat. Sebagai orang tua kita sebaiknya belajar memiliki kemampuan bercerita ala dongeng kesukaan anak kita, serta kita sesuaikan cerita yang kita buat tersebut dengan nilai-nilai atau aturan yang anak kita butuhkan. Sebaiknya dalam bercerita  :
  • Hindari penggunaan kalimat negatif (tidak, jangan) karena otak tidak mengenal kalimat negatif. Misalnya, jika saya minta Anda bayangkan jeruk, apa yang keluar dalam imajinasi Anda? Tulisan J-E-R-U-K atau gambar buah jeruk? Pasti seperti kebanyakan orang lainnya, gambar buah jeruk yang keluar. Kalo saya berkata “tidak” apa yang ada didalam imajinasi Anda? Seperti kebanyakan orang pula, sesaat mereka mencari-cari lalu jawabannya adalah kosong, tidak ada apa-apa.
  • Ungkapkan keinginan Anda secara  langsung, misalnya: jangan lari-lari, sebenarnya keinginan Anda duduk tenang. “Jangan nakal ya” sebenarnya maksud Anda anak yang baik. Sebaiknya pilih kata yang tepat saat kita ingin berkomunikasi dengan anak.
  • Ceritakan secara konsisten dengan penuh variasi. Seandainya Anda ingin menenanamkan tentang bagaimana sikap mendengarkan yang baik, ulangi cerita tersebut pada waktu yang berbeda sampai perilaku ini benar-benar sudah menjadi kebiasaannya (biasanya 3-5 kali cerita), dengan tokoh yang berbeda (Pooh, Barney, Teletubies, dll) atau membuat cerita yang bersambung.

Instruksinya mudah, kita bisa minta kepada anak “nah, coba papa / mama akan ajak kamu nonton bioskop ajaib, ini hanya bisa dilihat jika kamu memejamkan mata. Kemudian tokoh kesayanganmu akan muncul disana, coba tutup mata kamu”. Nah setelah anak menutup mata maka kita tinggal mengarahkan saja, perilaku apa yang perlu di perbaiki dengan mengunakan tokoh utama film tersebut. misal: “coba dengarkan pooh berbisik kepadamu, kamu anak yang rajin belajar. Aku senang bersahabat denganmu” atau “lihat Barney mendatangimu, hendak memberikan buah-buahan segar karena kamu tadi menjadi pendengar yang baik saat dia bercerita”. Gunakan kesempatan ini untuk memasukan nilai –nilai positif pada anak (sopan santun, aturan dalam bersosialisasi, dll).

Selasa, 14 Desember 2010

PERMASALAHAN ANAK DAN UPAYA PENANGANANNYA

PERMASALAHAN ANAK DAN UPAYA PENANGANANNYA

A. Pengantar
Setiap anak yang lahir ke dunia, sangat rentan dengan berbagai masalah. Masalah yang dihadapi anak, terutama anak usia dini, biasanya berkaitan dengan gangguan pada proses perkembangannya. Bila
gangguan tersebut tidak segera diatasi maka akan berlanjut pada fase perkembangan berikutnya yaitu fase perkembangan anak sekolah. Pada gilirannya, gangguan tersebut dapat menghambat proses perkembangan
anak yang optimal. Dengan demikian, penting bagi para orang tua dan guru untuk memahami permasalahan-permasalahan anak agar dapat meminimalkan kemunculan dan dampak permasalahan tersebut serta mampu memberikan upaya bantuan yang tepat.

B. Jenis-jenis Permasalahan Anak
Secara garis besar, masalah yang dihadapi anak dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan keadaan fisik, psikis, sosial, serta kesulitan belajar.
1. Fisik
Perkembangan aspek fisik terkait dengan keutuhan dan kemampuan fungsi panca indera anak, kemampuan melakukan gerakangerakan sesuai perkembangan usianya serta kemampuan mengontrol perkembangan. Anak yang mengalami hambatan dalam hal-hal tersebut dapat dikatakan mengalami masalah secara fisik. Lebih lanjut permasalahan-permasalahan fisik tersebut adalah sebagai berikut.
a. Gangguan fungsi pancaindera
b. Cacat tubuh
c. Kegemukan (obesitas)
d. Gangguan gerak peniruan (stereotipik
e. Kidal


f. Gangguan Kesehatan (penyakit)
g. Hiperaktif
h. Neuropati
i. Ngompol (enuresis)
j. Buang air besar di sembarang tempat (encopresis)
k. Gagap
l. Gangguan perkembangan bahasa

2. Psikis
Permasalahan psikis anak terkait dengan kemampuan psikologis yang dimilikinya atau ketidakmampuan mengekspresikan dirinya dalam kondisi yang tidak normal. Beberapa permasalahan psikis yang seringkali
dialami anak adalah sebagai berikut.
a. Gangguan konsentrasi
b. Inteligensi (baik tinggi maupun rendah)
c. Berbohong
d. Emosi(perasaan takut, cemas, marah, sedih, dan lain-lain)

3. Sosial
Perkembangan sosial anak berhubungan dengan kemampuan anak dalam berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa, atau lingkungan pergaulan yang lebih luas. Dengan demikian, permasalahan anak dalam bidang sosial juga berkaitan dengan pergaulan atau hubungan sosial, yang meliputi perilaku-perilaku sebagai berikut.
a. Tingkah laku agresif
b. Daya suai kurang
c. Pemalu
d. Anak manja
e. Negativisme
f. Perilaku berkuasa
g. Perilaku merusak

4. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar pada anak dapat dimaknai sebagai ketidakmampuan anak dalam mencapai taraf hasil  belajar yang sudah ditentukan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dalam program kegiatan belajar,  sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Beberapa indicator dan jenis kesulitan belajar yang mungkin dialami  anak adalah sebagai berikut.
a. Lower level
b. Underachiever
c. Slow learner

C. Faktor Penyebab Permasalahan Anak
Terdapat beberapa faktor penyebab permasalahan pada anak, baik
yang bersifat intrinsik (berasal dari diri anak sendiri) maupun ekstrinsik
(berasal dari luar diri anak). Secara umum, faktor-faktor tersebut adalah:
1. pembawaan, yakni anak dengan semua keadaan yang ada pada dirinya;
2. lingkungan keluarga, mencakup pola asuh orang tua, keadaan sosial ekonomi keluarga, dan lain-lain;
3. lingkungan sekolah, meliputi cara mengajar guru, proses belajar mengajar, alat bantu, kurikulum, dan lain-lain);
4. masyarakat, mencakup pergaulan, norma, adat istiadat, dan lain-lain.

D. Cara Mengidentifikasi Permasalahan Anak
Mengidentifikasi permasalahan anak diartikan sebagai upaya menemukan gejala-gejala yang tampak pada penampilan dan perilaku anak dalam memperkirakan penyebab masalah hingga bentuk bantuan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Berbagai cara dapat dilakukan orang tua dan guru untuk mengetahui apakah anak mengalami permasalahan atau tidak. Cara-cara tersebut secara umum dibagi dua, yakni melalui tes dan non tes.

1. Tes
Tes merupakan salah satu alat bantu yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi permasalahan anak yang bersifat standar/baku. Bentuk tes ini dapat berupa pertanyaan-pertanyaan atau tugas –tugas
yang harus dijawab atau dikerjakan anak serta dibatasi oleh waktu. Diantara beragam jenis tes yang banyak dipergunakan, di antaranya adalah:
a. tes bakat;
b. inteligensi;
c. prestasi;
d. diagnostik;
e. dan lain-lain.
2. Non-tes
Teknik non tes biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi permasalahan anak dengan cara mengamati penampilan serta perilaku anak dalam aktivitas kesehariannya sehingga cenderung lebih fleksibel bila  dibandingkan dengan teknik tes. Di samping itu, dipergunakan pula kumpulan hasil karya dan pekerjaan anak  selama periode waktu tertentu. Beberapa macam teknik non-tes yang populer, di antaranya adalah:
a. observasi;
b. wawancara;
c. angket;
d. portofolio;
e. catatan anekdot;
f. daftar cek;
g. skala penilaian;
h. sosiometri;
i. angket;
j. tugas kelompok;
k. dan lain-lain.

E. Langkah-langkah dan Teknik Penanganan Masalah
1. Langkah-langkah Penanganan masalah
Penanganan masalah anak dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
a. Identifikasi kasus, yakni upaya untuk menandai subjek (anak) yang diperkirakan mengalami masalah.
b. Identifikasi masalah, yakni upaya mengetahui inti permasalahan yang dihadapi anak.
c. Diagnosis, merupakan langkah untuk mengidentifikasi karakteristik serta faktor penyebab masalah yang dialami anak.
d. Prognosis, merupakan langkah untuk merumuskan alternatif upaya bantuan sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dialami.
e. Treatment, merupakan upaya pemberian bantuan itu sendiri.
f. Tindak lanjut, dilakukan sebagai bentuk evaluasi terhadap upaya pemberian bantuan yang telah dilakukan serta kemungkinan penggunaan langkah-langkah berikutnya.

2. Teknik Penanganan Masalah
Pada hakikatnya, tidak ada satu pun teknik yang efektif untuk menangani permasalahan anak yang  berbeda-beda. Penggunaan suatu teknik akan bergantung kepada karakteristik anak, jenis permasalahan,
kemampuan serta keterampilan pemberi bantuan, serta faktor feasibilitasnya. Di antara berbagai teknik yang dapat dilakukan orang tua dan guru untuk membantu menangani permasalahan anak adalah sebagai berikut.
a. Latihan
b. Permainan
c. Saran dan nasihat
d. Pengkondisian (conditioning)
e. Model dan peniruan (modeling and imitation)
f. Konseling

F. Syarat Menangani Permasalahan Anak
Orang tua dan guru merupakan model bagi anak. Untuk dapat membantu menangani permasalahan anak dengan tepat, orang tua dan guru diharapkan memiliki beberapa karakteristik sebagai persyaratannya.
Beberapa karakteristik di bawah ini setidaknya dapat membantu mempermudah orang tua dan guru dalam menangani permasalahan yang dihadapi anak.
1. Kesabaran
2. Penuh kasih sayang
3. Penuh perhatian
4. Ramah
5. Toleransi terhadap anak
6. Empati
7. Penuh kehangatan
8. Menerima anak apa adanya
9. Adil
10. Dapat memahami perasaan anak
11. Pemaaf terhadap anak
12. Menghargai anak
13. Memberi kebebasan terhadap anak
14. Menciptakan hubungan yang akrab dengan anak

G. Penutup
Setiap permasalahan tentu memiliki solusi. Demikian pula permasalahan yang dihadapi anak, merupakan suatu cara bagi orang tua dan guru untuk belajar memberikan solusi yang terbaik bagi proses tumbuh kembang anak-anak mereka.
Semoga paparan dalam makalah ini memberikan manfaat bagi banyak pihak. Terima kasih.

Rabu, 01 Desember 2010

PERMAINAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

ERMAINAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

A. PENTINGNYA PERMAINAN
Permainan (play) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri ( Santrock, 2002). Erikson dan Freud : Permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna menolong anak menguasai kecemasan dan konflik. Piaget melihat permainan sebagai suatu metode yang meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak
B. JENIS-JENIS PERMAINAN
  1. Permainan Sensorimotor ( Praktis )
Menggunakan semua indera dengan menyentuh, mengeksplorasi benda, berlari, melompat, meluncur, berputar,melempar bola
  1. Permainan Sombolis ( Pura-pura )
Terjadi ketika anak mentransformasikan lingkungan fisik ke suatu simbol, sehingga bersifat dramatis dan sosiodramatis
Dalam permainan pretend, ada 3 hal yang biasa terjadi : alat-alat, alur cerita dan peran.
3. Permainan Sosial
Adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan teman sebaya
4. Permainan Konstruktif
Mengombinasikan kegiatan sensorimotor yang berulang dengan representasi gagasan simbolis. Permainan Konstrukstif terjadi ketika anak-anak melibatkan diri dalam suatu kreasi atau konstruksi suatu produk atau suatu pemecahan masalah ciptaan sendiri.
5. Games
Adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh kenikmatan dan menyenangkan yang melibatkan aturan dan seringkali kompetisi dengan satu anak atau lebih.
C. FUNGSI BERMAIN
1.  BERMAIN DAN KEMAMPUAN INTELEKTUAL
a.    Merangsang perkembangan kognitif
Dengan permainan sensorimotor, anak akan mengenal permukaan lembut, halus, kasar atau kaku, sehingga meningkatkan kemampuan abstraksi (imajinasi, fantasi)dan mengenal konstruksi, besar-kecil, atas-bawah, penuh-kosong. Melalui permainan dapat menghargai aturan, keteraturan dan logika.
b.   Membangun struktur kognitif
Melalui permainan, anak akan memperoleh informasi lebih banyak sehingga pengetahuan dan pemahamannya lebih kaya dan lebih mendalam. Bila informasi baru ini ternyata beda dengan yang selama ini diketahuinya, anak mendapat pengetahuan yang baru. Dengan permainan struktur kognitif anak lebih dalam, lebih kaya dan lebih sempurna
c. Membangun kemampuan kognitif
Kemampuan kognitif mencakup kemampuan mengidentifikasi, mengelompokan, mengurutkan, mengamati, meramal, menentukan hubungan sebab-akibat, menarik kesimpulan. Permainan akan mengasah kepekaan anak akan keteraturan, urutan dan waktu juga meningkatkan kemampuan logika.
d. Belajar Memecahkan Masalah
Permainan memungkinkan anak bertahan lama menghadapi kesulitan sebelum persoalan yang ia hadapi dipecahkan. Proses pemecahan masalah ini mencakup imajinasi aktif anak-anak yang akan mencegah kebosanan ( merupakan pencetus kerewelan ada anak )
e. Mengembangkan rentang konsentrasi
Apabila tidak ada konsentrasi atau rentang perhatian yang lama, seorang anak tidak mungkin dapat bertahan lama bermain (pura-pura menjadi dokter,ayah-ibu,guru). Ada yang dekat antara imajinasi dan kemampuan konsentrasi. Imajinasi membantu meningkatkan kemampuan konsentrasi. Anak tidak imajinatif memiliki rentang perhatian (konsentrasinya) pendek dan memiliki kemungkinan besar untuk berperilaku lain dan mengacau.
2. BERMAIN DAN PERKEMBANGAN BAHASA
Bermain merupakan “laboratorium bahasa” buat anak-anak. Di dalam bermain, anak-anak bercakap-cakap dengan teman yang lain, berargumentasi, menjelaskan dan meyakinkan kosakata yang dikuasai anak-anak dapat meningkat karena mereka menemukan kata-kata baru
3. BERMAIN DAN PERKEMBANGAN SOSIAL
  1. Meningkatkan sikap sosial
Ketika bermain, anak-anak harus memperhatikan cara pandang lawan bermainnya, dengan demikian akan mengurangi egosentrisnya. Dalam permainan itu pula anak-anak dapat mengetahui bagaimana bersaing dengan jujur, sportif, tahu akan hak dan peduli akan hak orang lain. Anak juga dapat belajar bagaimana sebuah tim dan semangat tim
b. Belajar berkomunikasi
Agar dapat melakukan permainan, seorang anak harus mengerti dan dimengerti oleh teman-temannya, karena permainan, anak-anak dapat belajar bagaimana mengungkapkan pendapatnya, juga mendengarkan pendapat orang lain
c. Belajar Berorganisasi
Permainan seringkali menghendaki adanya peran yang berbeda, olah karena itu dalam permainan, anak-anak dapat belajar berorganisasi sehubungan dengan penentuan ‘siapa’ yang akan menjadi ‘apa’. Dengan permainan, anak-anak dapat belajar bagaimana membuat peran yang harmonis dan  melakukan kompromi
4. BERMAIN DAN PERKEMBANGAN EMOSI
Bermain merupakan pelampiasan emosi dan juga relaksasi. Fungsi bermain untuk perkembangan emosi :
  1. Kestabilan emosi
Ada tawa, senyum dan ekspresi kegembiraan lain dalam bermain.
Kegembiraan yang dirasakan bersama mengarah pada kestabilan emosi anak
b. Rasa kompetensi dan percaya diri
Bermain menyediakan kesempatan pada anak-anak mengatasi situasi.Kemampuan ini akan membentuk rasa kompeten dan berhasil. Perasaan mampu ini pula dapat mengembangkan percaya diri anak-anak. Selain itu, anak-anak dapat membandingkan kemampuan pribadinya dengan temannya sehingga dia dapat memandang dirinya lebih wajar (mengembangkan konsep diri yang realistis)
c. Menyalurkan keinginan
Didalam bermain, anak-anak dapat menentukan pilihan, ingin menjadi apa dia. Bisa saja ia ingin menjadi ‘ikan’, bisa juga menjadi ‘komandan’ atau menjadi ‘pasukan perang’nya atau menjadi seorang putri.
d. Menetralisir emosi negatif
Bermain menjadi “katup” pelepasan emosi negatif, misalnya rasa takut, marah, cemas dan memberi kesempatan untuk menguasai pengalaman traumatik.
e. Mengatasi konflik
Di dalam bermain, sangat mungkin akan timbul konflik antar anak dengan lainnya, karena itu anak-anak bisa belajar alternatif untuk menyikapi atau menangani konflik yang ada.
f. Menyalurkan agresivitas secara aman
Bermain memberikan kesemapatan bagi anak-anak untuk menyalurkan agresivitasnya secara aman. Dengan menjadi ‘raja’ misalnya, anak dapat merasa ‘mempunyai kekuasaan’ dengan demikian anak-anak dapat mengekspresikan emosinya secara intens yang mungkin ada tanpa merugikan siapapun
5. BERMAIN DAN PERKEMBANGAN FISIK
a.   Mengembangkan kepekaan penginderaan
Dengan bermain, anak-anak dapat mengenal berbagai tekstur : halus, kasar, lembut; mengenal bau; mengenal rasa; mengenal warna
b. Mengembangkan ketrampilan motorik
Dengan bermain seorang anak dapat mengembangkan kemampuan motorik, seperti berjalan, berlari, melompat, bergoyang mengangkat, menjinjing, melempar, menangkap, memanjat, berayun dan menyeimbangkan diri. Selain itu, anak dapat belajar merangkai, menyusun, menumpuk, mewarnai dan menggambar
c. Menyalurkan energi fisik yang terpendam
Bermain dapat menyalurkan energi berlebih yang ada diantara anak-anak, mis : kejar-kejaran. Energi berlebih yang tidak disalurkan dapat membuat anak-anak tegang, gelisah dan mudah tersinggung.
6. BERMAIN DAN KREATIVITAS
Dalam bermain, anak-anak dapat berimajinasi sehingga dapat meningkatkan daya kreativitas anak-anak. Adanya kesempatan untuk berfikir antara batas-batas dunia nyata menjadikan anak – anak dapat mengenal proses berfikir yang lebih kreatisif yang akan sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari
D. ROLE PLAYING – BERMAIN PERAN
Adalah permainan yang biasa dilakukan anak-anak dimana dalam permainan tersebut meniru kegiatan atau pekerjaan orang dewasa. Dr. Kresno Mulyadi,SpKJ menyebut 8 manfaat bermain peran :
  1. Menggali imajinasi
  2. Menambah kemampuan bahasa
  3. Membangun sosialisasi
  4. Menyelesaikan masalah
  5. Mengembangkan kepemimpinan
  6. Menggali rasa percaya diri
  7. Berpikir abstrak
  8. Mengekplorasi dunia dengan kaca mata anak-anak
Contoh Bermain Peran :
  1. Permainan miniatur : alat berat, binatang, boneka
  2. Alat rumah tangga mainan
  3. Mainan berkarakter tokoh kartu
  4. Kostum peran tertentu
Keuntungan Bermain :
  1. Membuang ekstra energi
  2. Mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh
  3. Aktivitas yang dilakukan dapat meningkatkan nafsu makan
  4. Anak belajar mengontrol diri
  5. Berkembangnya berbagai ketrampilan yang akan berguna bagi hidupnya
  6. Meningkatkan daya kreatifitas
  7. Mendapatkan kesempatan menemukan arti dari benda-benda disekitarnya
  8. Cara mengatasi kemarahan, kekuatiran, iri hati dan kedukaan
  9. Kesempatan untuk bergaul dengan anak lainnya
  10. Kesempatan mengikuti aturan
  11. Kesemoatan mengelola emosi, saat pihaknya menang atau kalah
  12. Sarana mengembangkan kemampuan intelektualnya
Permainan merupakan salah satu media bimbingan dan konseling dalam menghadapi konseli, khususnya terhadap anak karena terkadang anak tidak mampu mengatakan tetapi dapat menunjukkan dalam perilakunya
( with play provides one of the best ways to communicate with children and “see their world” or “a window into the child`s world”)
Play therapy , suatu teknik terapi yang dilakukan untuk menghadapi konseli, utamanya  yang mengalami gangguan mental seperti phobia, anxiety, trauma, underconvidence, child abuse, alcoholics & addicts, child victims of incest, allergies,stutering
Dengan teknik tertentu dan tujuan tertentu membantu konseli menuju ke arah kebahagiaan
Permainan dalam bimbingan dan konseling sangat dipakai dalam :
  1. situasi krisis ( korban gempa    bumi, tsunami, angin )
  2. panti sosial
  3. Rehabilitasi
Dengan bermain, anak belajar bermakna
(Iirdekamp & Rosegrant,1992) bahwa belajar secara bermakna, bila :
  1. Merasa permainan secara psikologis  serta kebutuhan fisik terpenuhi
  2. Dapat mengkonstruksi pengetahuan
  3. Belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa serta anak lain
  4. Belajar melalui bermain
  5. Minat serta kebutuhan anak untuk mengetahui terpenuhi
  6. Unsur variasi individual anak diperhatikan
REFERENSI :
  • Kevin J.O`Connor.1994.Hand Book of Play Therapy.Canada:A.Wiley Interscience Publication
  • John Santrock.2006.Life Span Development.Jakarta:Penerbit Erlangga
  • Yusi Riksa.2008.Konsep dan Aplikasi BK : Aktivitas Bermain Sebagai Strategi Pengembangan Belajar Bermakna.PPB UPI
  • Pamela O.Parsley.What A School Administrasion Need To Know: About Expressive Art And Play Media In School Counseling
  • Journal Proquest
  • Dokumentasi Kelompok

OUT-BOUND SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN BELAJAR GERAK DALAM PENDIDIKAN JASMANI YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI ALAM TERBUKA

OUT-BOUND SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN BELAJAR GERAK
DALAM PENDIDIKAN JASMANI YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI ALAM TERBUKA


LATAR BELAKANG MASALAH

Pembelajaran Pendidikan Jasmani sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia secara keseluruhan tidak diragukan lagi peranannya dalam turut mendukung terciptanya manusia Indonesia seutuhnya, selain bertujuan sehat jasmani tetapi juga sehat rohani. Sehat jasmani memberikan pengertian bahwa melalui pendidikan jasmani akan mendukung dan mampu beradaptasi terhadap tugas-tugas fisik sehari-hari untuk bergerak. Bergerak yang melibatkan fungsi otot, jantung, paru dan peredaran darah (Cardio-vascular). Sementara itu sehat rohani memiliki pengertian, adanya nilai-nilai yang harus dibentuk dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk kematangan mental, sosial dan kepribadian dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Abdullah.A. 1998)
Bila melihat tujuan Pendidikan jasmani yang bernilai tinggi dan luhur tersebut, maka menuntut upaya tindakan yang kreatif dari guru pendidikan jasmani dalam mewujudkan hal tersebut. Tidak cukup dengan hanya mengantarkan siswa belajar Penjas pada jam sekolah yang sangat terbatas waktu bergeraknya, tetapi harus mampu mendorong secara sadar pada diri siswa bahwa untuk memenuhi sempitnya ruang dan waktu untuk bergerak di sekolah melalui aktivitas gerak atau olahraga di luar sekolah. Ingat bahwa proses pendidikan di sekolah dilaksanakan dalam bentuk Intra-kurikuler, ko-kurikuler dan Ekstrakurikuler.
Kecenderungan yang terjadi dalam pembelajaran Penjas di sekolah dasar saat ini, terkesan kaku dengan instruksi-instruksi guru dalam menyampaikan pembelajaran untuk mencapai keterampilan gerak tertentu, bahkan terkesan secara otoriter dari sikap guru memaksa mencapai tahapan latihan yang berat membuat siswa jenuh dan tidak berminat untuk belajar.
Pada dasarnya anak lebih suka belajar menghadapi tantangan yang dirasakan mampu dilakukannya, berkompetisi sesama teman merupakan daya tarik sendiri yang membuat anak termotivasi melakukan aktivitas gerak dengan sungguh-sungguh. Baik aktivitas secara individual maupun kelompok yang akan memberikan nuansa pembelajaran Penjas yang menarik. Dalam muatan kurikulum Pendidikan Jasmani terakhir ini menawarkan materi-materi yang tidak hanya bersumber pada kecabangan olahraga seperti atletik, permainan bola voli, sepak bola, bola basket, Futsal dan sebagainya, tetapi juga terdapat materi belajar gerak di alam terbuka (out door) dilingkungan sekolah.
Aktivitas di luar kelas atau diluar gedung sekolah merupakan aktvitas yang menantang bagi siswa untuk belajar dengan hal-hal baru tetapi nyata merupakan bagian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Anak-anak diajak untuk melakukan aktivitas yang tidak biasa dilakukan dalam kehidupannya. Bekerjasama dalam suatu tim atau kelompok untuk melakukan suatu tujuan tertentu yang selain menuntut kemampuan fisik dan keterampilan tertentu, tetapi menuntut pengembangan kepribadian seperti sikap tenggang rasa, saling peduli, suka menolong dan kepekaan terhadap situasi dan kondisi, daya juang, tidak mengenal putus asa, bertanggung jawab, nilai-nilai kepemimpinan dan sebagainya. Kegiatan demikian merupakan bagian dari aktivitas yang sedang populer saat ini yaitu ”out bound”.
Out bound berkembang dimasyarakat bukan hanya pada lingkungan pendidikan saja, seperti untuk siswa di sekolah atau lembaga kepramukaan, tetapi sudah diterapkan sebagai pendidikan orang dewasa dibeberapa lembaga pemerintah dan swasta untuk melatih karyawan, pegawai dan stapnya serta pimpinannya agar menjadi individu-individu yang kokoh, kuat, tekun, bekerja sama, saling membantu sehingga memiliki sistem manajemen yang kuat dan mampu meraih tujuan-tujuan sesuai target yang ditetapkan lembaganya.
Tidak semua aktivitas out bound juga bisa ditransfer dalam kondisi pembelajaran di sekolah, namun dapat dipilih bagian-bagian tertentu dari aktivitas out bound dan dimodifikasi secara kreatif aktivitasnya menjadi bentuk berbeda yang lebih menarik.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, pembahasan yang akan diuraikan adalah ”Bagaimana mengembangkan aktivitas Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di sekolah melalui pendekatan out-bound?”
Adapun tujuan pembahasan ini akan memberikan wawasan terhadap praktisi-praktisi pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan guru, pelatih dan siswa dalam mengembangkan pendidikan jasmani di sekolah dengan menerapkan aktivitas outnbound.
Manfaat dari pembahasan ini diharapkan para praktisi dilapangan dapat memilih dan mengembangkan serta menerapkan bentuk-bentuk outbound sebagai bagian dari pendekatan pendidikan jasmani di sekolah.

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Pendidikan jasamani adalah kajian pendidikan yang mengutamakan aktifitas jasmani dan pembinaan untuk pengembangan jasamani itu sendiri sebagai emosional yang selaras dan seimbang serta untuk mencapai tujuan pendidikan (Cholik. M, 1997).
Pendidikan jasmani di sekolah dapat mengembangkan beberapa aspek yang amat penting bagi siswa-siswi, yaitu (1) membangun minat dan perhatian untuk selalu terlibat dan ikut serta dalam kegiatan olah raga. (2) Untuk mengembangkan pola pikir anak, (3) dapat mengembangkan gerak dengan efektif dan efisien.
Tujuan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, untuk mengembangkan kesehatan dan kebugaran melalui pengertian atau keterampilan gerak dasar serta aktivitas jasmani supaya dapat meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan. Dalam dunia pendidikan telah dijelaskan bahwa untuk meningkatkan mutu dan hasil efisein sebaiknya dibutuhkan waktu dan latihan-latihan yang lebih baik serta diberikan pengaruh yang kontinyu dalam artian telah dilakukan dapat dicapai.
Dalam dunia pendidikan, pendidikan jasmani mempunyai multi-fungsi dalam mengembangkan aspek-aspek organik, neuromuskular, perseptual, kognitif, dan aspek sosial (Subroto,T.:2008).
1) Aspek organik yang dikembangkan pendidikan jasmani adalah memfungsikan tubuh menjadi lebih baik, sehingga dapat memenuhi tuntutan lingkungan sebagai landasan pengembangan keterampilan.
- Meningkatkan kekuatan otot, berupa tenaga yang dihasilkan dari otot atau kelompok otot.
- Meningkatkan daya tahan oto, yaitu kemampuan otot untuk bertahan dalam kerja atau aktivitas dalam waktu yang lebih lama.
- Meningkatkan daya tahan kardiovaskuler yaitu kapasitas individu melakukan aktivitas secara terus menerus (kontinyu) dalam intensitas yang berat dan waktu yang lama.
- Meningkatkan fleksibiltas yang meliputi kemampuan rentang gerak dalam persendian untuk menghasilkan gerakan yang efektif serta mengurangi cidera.
2) Aspek Neuromuskular;
- meningkatkan keharmonisan antara fungsi otot dan persyarafannya
- mengembangkan keterampilan lokomotor maupun nonlokomotor
- mengembangkan keterampilan dasar manipulatif dalam bentuk pengusasaan teknik dasar cabang olahraga
- mengembangkan keterampilan olahraga rekreasi, seperti menjelajah, mendaki, berkemah dan sebagainya.
3) Aspek perseptual;
- mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan konsep ruang, yang meliputi objek di depan, di belakang, di bawah, di atas, di kanan dan di kiri.
- Mengembangkan koordinasi gerak visual
- Mengembangkan keseimbangan tubuh secara statis maupun keseimbangan dinamis.
4) Aspek kognitif
- Mengembangkan kemampuan bereksplorasi, menemukan konsep, dan kemampuan mengambil sikap dan keputusan dengan tepat dan cepat.
- Mengembangkan kemampuan menyusun strategi dalam kondisi terorganisir, dan mampu memecahkan problematika dalam bentuk gerakan.
5) Aspek Sosial,
- Kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan sekitarnya.
- Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam situasi kelompok
- Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai-nilai dalam mansyarakat
- Belajar menggunakan waktu luang yang konstruktif.
(Subroto: 2008)


B. Definisi Out bound

Pengertian Out bound masih hangat diperdebatkan banyak kalangan praktisi out bound sendiri, hal itu dilandasi oleh perkembangan kegiatan-kegiatan outbound yang sangat pesat akhir-akhir ini karena sudah menjadi bagian dari bisnis sebagai daya saing dibidang olahraga. Keunikan dan tingkat kreativitas pengelolanya membuat outbaound yang dikembangkan menjadi berbeda dengan outbound lainnya. Namun pada dasarnya masih mengacu pada beberapa definisi yang sama.
Outbound adalah kegiatan di alam terbuka yang mampu memacu semangat belajar. Outbound merupakan sarana penambah wawasan pengetahuan yang didapat dari serangkaian pengalaman berpetualang sehingga dapat memacu semangat dan kreativitas seseorang. Oleh karena itu. Kimpraswil (2007) menyatakan bahwa outbound adalah usaha olah diri (olah pikir dan olah fisik) yang sangat bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan motivasi, kinerja dan prestasi dalam rangka melaksanakan tugas dan kepentingan organisasi secara lebih baik lagi (http://www.kimpraswil.go.id/ )
Kegiatan outbound berawal dari sebuah pengalaman sederhana seperti bermain. Bermain juga membuat setiap anak merasa senang, dan bahagia. Dengan bermain anak dapat belajar menggali dan mengembangkan potensi, dan rasa ingin tahu serta meningkatkan rasa percaya dirinya. Oleh karena itu, bermain merupakan fitrah yang dialami setiap anak. Pengalaman merupakan guru dalam proses pembelajaran secara alami. Misalnya, seorang anak mengalami proses alami bermain. Hal itu dalam rangka menambah dan mengembangkan pengetahuan dari setiap pengalamannya. Jadi, tidak menutup kemungkinan siapapun berhak bermain baik anak-anak, remaja, orang dewasa ataupun orang tua. Karena belajar dari sebuah pengalaman dalam aktivitas bermain dijadikan sebagai sarana pembelajaran yang menyenangkan yang dapat dilakukan di ruangan terbuka atau tertutup.
outbound merupakan perpaduan antara permainan-permainan sederhana, permainan ketangkasan, dan olah raga, serta diisi dengan petualangan-petualangan. Hal itu yang akhirnya membentuk adanya unsur-unsur ketangkasan, dan kebersamaan serta keberanian dalam memecahkan masalah. Seperti halnya Iwan (2007) menegaskan bahwa “permainan yang disajikan dalam outbound memang telah disusun sedemikian rupa, sehingga bukan hanya psikomotorik (fisik) peserta yang ’tersentuh’ tapi juga afeksi (emosi) dan kognisi (kemampuan berpikir) (http://www.peloporadventure.co.id/ )

C. Manfaat kegiatan Outbound
Tidak berbeda dengan manfaat olahraga, Outbound adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Permainan yang penuh tantangan ini juga mampu mengembangkan psikomotorik anak. Derai tawa riang anak-anak menggema dari sebuah kawasan outbound. Sesekali terdengar teriakan melengking. Apalagi ketika satu demi satu anak-anak yang rata-rata berusia enam hingga 12 tahun tersebut, mulai meluncur dari seutas tali yang menghubungkan sebuah tebing dengan pohon berukuran sedang di bawahnya. Outbound telah menjadi bagian dari kegiatan anak yang menyenangkan. Walau terkesan agak takut, akhirnya anak-anak itu pun memberanikan diri menaklukkan beberapa tantangan dengan antusias. Permainan tak hanya memberikan kesenangan bagi anak. Berbagai tantangan dalam permainan itu terbukti mampu membentuk kemampuan psikomotorik anak. Kemampuan yang berkaitan dengan gerak tubuh tersebut, tidak banyak diajarkan pada aktivitas informal Pendidikan Jasmani dan olahraga di sekolah.
Howard Gardner (2000) dalam bukunya berjudul "Multiple Intellegences", mengatakan, setiap anak memiliki kecerdasan majemuk meliputi kecerdasan spasial visual, linguistik verbal, interpersonal, musikal ritmik, naturalis, kinestetik, dan logis matematis.
Dari tujuh macam kecerdasan tersebut, hanya beberapa yang menonjol, dan itu berbeda pada setiap anak. Karena kecerdasan bukan sesuatu yang dapat dilihat atau dihitung, melainkan tergantung pada pengalaman hidup sehari-hari, baik di rumah, sekolah maupun di tempat lain. Karena setiap anak memiliki potensi berbeda, seharusnya proses pengajarannya juga berbeda. Dalam ilmu psikologi dikenal dengan prinsip individual differences atau pada dasarnya setiap orang memiliki keunikan masing-masing.
Keunikan masing-masing anak tidak akan menonjol di sekolah dasar konvensional, yang pada umumnya hanya fokus pada aspek kognitif, yaitu kemampuan penalaran otak. Tidak jarang murid yang tidak memiliki keunggulan kognitif, dianggap anak bodoh. Akibatnya si anak menjadi minder, padahal belum tentu pada kegiatan lain, anak seperti ini tidak unggul, bahkan bisa jadi berprestasi lebih bagus. Peran sekolah sangat dibutuhkan untuk melihat potensi dan membantu mengembangkan potensi anak. Dengan begitu, si anak mampu mengaktualisasikan kemampuan diri. Kemampuan anak tersebut hanya dapat terlihat dalam outbound atau memberikan tantangan fisik dalam setiap permainan.
Seorang guru SD (Widia Chandra) di Jakarta Pusat mengatakan; "Tidak banyak sekolah yang memberikan pendidikan yang mengarah pada perkembangan gerak tubuh anak. Namun, perkembangan itu bisa didapatkan dengan mengikutkan anak pada program-program outbound yang menarik ketika libur; Anak-anak yang telah beberapa kali mengikuti outbound atau tantangan fisik lewat permainan-permainan yang menyenangkan, di sekolah menjadi lebih gembira, lebih lincah, dan memiliki pengertian terhadap teman-teman sekolahnya; Dengan tantangan lewat outbound, anak diajarkan untuk mandiri memecahkan kesulitan sehingga anak terlatih untuk mandiri, tidak cengeng dan percaya pada kekuatan diri sendiri," (file://localhost/G_okezone_com.htm )

D. Program Outbound bagi Siswa
Bila ingin tahu wajah pendidikan di suatu negara, lihatlah apa yang tersembul pada wajah anak-anak sekolah. Wajah-wajah tertekan hampir terpancar dari setiap anak didik setiap kali mereka harus berangkat sekolah. Nyaris tidak ada wajah riang, setiap kali mereka masuk sekolah. Suasana riang baru terasakan saat mereka menerima pengumuman hari libur atau pulang pagi karena guru rapat atau ada keperluan lain.

Menurut hasil penelitian di Amerika (Malcom Baldridge), menyatakan bahwa ternyata keberhasilan seseorang ditentukan oleh:
- 45% Sikap (Attitude)
- 10% Pengetahuan (Knowledge)
- 20% Perbuatan dan pengalaman (Practice)
- 25% Keterampilan (Skill)
Cara ini hanya melibatkan kemampuan berpikir manusia yang paling rendah (lower order thinking), sedangkan kemampuan higher order thinking seperti kemampuan proses belajar-mengajar yang dibalut dengan unsur attitude (sikap/moral), skills (keterampilan), knowledge (pengetahuan), experience (pengalaman), responsibility (tanggung jawab), dan accountability (pertanggungjawaban) tidak tersentuh. Melihat kondisi diatas maka diperlukan pola pembinaan luar sekolah yang dapat mengisi kekosongan tersebut.

1). Sikap dan Moral (attitude)
Sistem pembelajaram selama ini cenderung mencetak generasi cerdas otak dan sedikit kecerdasan ruh (batin). Pendidikan hanya menghasilkan generasi pintar tapi kurang memiliki attitude yang baik. Produk pendidikan pun menjadi manusia pintar yang hanya mengejar keuntungan sendiri, pintar melakukan korupsi, pintar merusak hutan yang sering mengakibatkan bencana di negeri ini.
Untuk mengisi kebutuhan pembentukan attitude maka diperlukan sentuhan dalam bentuk lainnya berupa pelatihan kepekaan hati yang dibawakan melalui pendidikan kebersamaan di alam bebas yang sesuai dengan perkembangan usia.

2). Pengetahuan (knowledge)
Di sekolah, pengetahuan yang diajarkan bergerak pada ilmu dasar dan banyak pula yang kurang dalam penerapan praktek lapangannya. Kegiatan outdoor dengan nama Outdoor Management Development Training ini menanamkan pengetahuan tambahan baik yang berkaitan dengan pengetahuan yang diajarkan di sekolah maupun pengetahuan lapangan lainnya.
Pendidikan yang menggunakan ”setting sekolahan” cenderung teoritis dan seolah hanya sekedar menjadi rutinitas yang menjemukan. Di sisi lain, belajar di luar ruang (outdoor experiential learning) lebih mengedepankan metode Connected knowing (menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata). Di sini, pendidikan dianggap sebagai bagian integral dari sebuah kehidupan.

3). Praktek dan Pengalaman Lapangan (Practice)
Peserta akan dikondisikan dalam suatu tantangan yang menarik, dengan kegiatan alam terbuka sebagai media pendidikan. Mereka juga akan dihadapkan pada tantangan fisik dan mental yang didesain khusus, tetapi jelas tidak melampaui kapasitas dari peserta.
Petualangan dan tantangan yang akan dihadapi merupakan gabungan dari kerjasama tim dan pengembangan diri. Difokuskan kepada pengembangan dari ketrampilan hidup yang terdiri dari inisiatif, kepemimpinan, komunikasi, pengambilan keputusan, kerjasama, menghadapi resiko dan kepercayaan
Hasil yang diperoleh dari melakukan kegiatan sebelumnya akan dibicarakan dalam diskusi. Penekanan pada proses belajar merupakan hal yang penting dalam diskusi. Selanjutnya mereka akan mendapat kesempatan untuk mengaplikasikannya pada kegiatan berikutnya. Metode Experiential Learning yang dipakai akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berefleksi pada aktivitas yang terdahulu. Sehingga mereka diharapkan dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi dan tantangan berikutnya.

E. Model Out-Bound sebagai bagian dari Proses Pendidikan siswa (Outbound Student Program)

a. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dan sasaran program ini adalah pengembangan berbagai komponen perilaku siswa untuk menunjang pelaksanaan tugasnya sebagai siswa dalam kehidupan sehari-hari. Komponen yang diharapkan tumbuh dari pelaksanaan program Outbound Student Program ini adalah:
1. Mempunyai kemampuan dalam pengelolaan diri
2. Tidak kehilangan kontrol emosi dalam menghadapi tantangan
3. Tidak menarik diri bila menghadapi kesulitan dan tantangan
4. Tegar dalam menghadapi situasi panik
5. Berpikir kreatif
6. Kemampuan mengembangkan gagasan kreatif dari diri sendiri
7. Kemampuan membangkitkan semangat kerjasama dalam tim dengan menggerakkan kawan sesama anggota tim.
8. Kemampuan membangkitkan semangat kerja tim
9. Mempunyai Hubungan interpersonal yang baik
10. Membangun rasa saling percaya kepada orang lain
11. Menghargai perbedaan
12. Melihat kelemahan orang lain bukan sebagai kendala
13. Bersedia menolong orang lain dan mau ditolong orang lain
14. Berkomunikasi secara efektif
15. Berusaha menyampaikan informasi kepada pihak lain demi kesuksesan bersama
16. Mengkomunikasikan ide kepada orang lain dengan jelas dan sistemik
17. Merangsang orang lain untuk menyampaikan gagasan orang lain
18. Bersedia bertanya apabila ada ketidakjelasan informasi

b. Metode
Metode yang digunakan dalam Outbound Student Program adalah:
1. Kerjasama dalam kelompok
2. Petualangan Individual dan kelompok
3. Ceramah (keterkaitan antara kegiatan simulasi dengan prinsip manajemen)
4. Diskusi (refleksi kegiatan)
c. Pola Pendekatan
Kegiatan outbound student program menggunakan pola pendekatan sebagai berikut:
1. Kegiatan Spiritual/Keyakinan
2. Kegiatan Kesehatan dan Kebugaran
3. Kegiatan Prestasi
4. Kegiatan Keluarga
5. Kegiatan Sosial
Pembahasan atas kegiatan menggunakan: ”Emosional, Intelektual dan Spiritual”

d. Kegiatan dan rancangan pendanaan.
Setiap bentuk atau model kegiatan akan terkait dengan pendanaan yang akan timbul atas penyelenggaraan kegiatan, pada aspek :
1. Durasi Waktu
2. Jumlah Peserta
3. Letak lokasi kegiatan
4. Desain Program
5. Dan hal-hal lain yang ditentukan kemudian

e. Keamanan Dalam Pelatihan(safety)
Safety adalah melaksanakan seluruh tindakan-tindakan penting untuk menjaga suasana kegiatan agar aman bagi peserta untuk bermain dan belajar. Terdapat dua hal penting mengenai safety :
1. Physical safety
Kegiatan dengan media alam terbuka memiliki resiko keselamatan pada peserta dan kami pihak penyelenggara selalu mengutamakan keselamatan peserta dalam setiap setting aktifitas kegiatan dengan menggunakan peralatan yang telah teruji secara internasional dan dipasang oleh orang-orang yang telah berpengalaman. Namun demikian masih terdapat resiko yang uncontrolable, seperti kurang kehati-hatian peserta sendiri, karena itu juga diperlukan kerjasama dengan peserta dalam memperkecil resiko terjadinya situasi yang tidak diinginkan.
2. Psychological Safety,
Dalam hal ini, kami menyusun dan mendorong disepakatinya aturan main untuk tidak menimbulkan sakit hati peserta yang disebabkan oleh tindakan atau perkataan dari sesama peserta maupun fasilitator. Dengan suasana aman seperti itu, dimana tidak ada satupun orang yang takut salah, takut dicemooh, takut dikomentari, maka suasana kegiatan menjadi kondusif untuk seluruh peserta.


G. Outbound yang Baik Harus Menghasilkan Peak Adventure
Merencanakan Program pengembangan dan pelatihan yang dilakukan di luar ruangan, atau biasa disebut outbound hanya akan efektif bila dilaksanakan dengan baik, yakni mampu memberikan puncak petualangan dalam mengatasi tantangan (peak adventure) bagi para pesertanya.
Keluar dari Comfort Zone; Untuk bisa menghasilkan peak adventure, kegiatan-kegiatan dalam out bound training harus bisa mengeluarkan partisipan dari comfort zone (daerah yang nyaman) mereka. Tapi, diingatkan, peak adventure tiap-tiap orang berbeda sehingga instruktur outbound tidak boleh memaksa peserta yang tidak berani melakukan kegiatan tertentu. Instruktur bisa membantu dengan persuasi dan mendampingi peserta out bound training yang tidak berani. Out bound pada dasarnya mempertemukan antara kompetensi dan risiko. Jangan sampai risikonya terlalu tinggi sehingga malah menjadi missadventure.
Peak adventure tercapai bila risiko dan kompetensi proporsional. Mengingat makin menjamurnya penyelenggara outbound saat ini, penyelenggara termasuk dilingkungan sekolah perlu hati-hati. Guru atau instruktur harus pandai memilih outbound provider yang reputasinya bagus, memiliki standar keamanan tinggi dan instruktur yang qualified. Selain itu tempat & program outbound yang tepat akan mendukung kesuksesan sebuah kegiatan outbound.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Outbound training saat ini menawarkan solusi terbaik bagi pelajar (TK/ SD/ SMP/ SMA) atas permasalahan hubungan antar manusia melalui kegiatan di ruang terbuka. Pelatihan yang menggunakan kombinasi antara teori, simulasi, role play, diskusi dan metode belajar dari pengalaman. Peserta diajak untuk membebaskan diri dari paradigma lama, lepas dari ruang dan batasan-batasan formalitas yang sering menghambat kreativitas dan menutup jalan untuk membuka diri seluas-luasnya bagi suatu perubahan positif.
Menyelenggarakan outbound harus membangun sinergi dan sikap empati antar sesama anggota; Membangun motivasi meraih prestasi dalam kegiatan yang meriah dan fun; membina keakraban dan kekeluargaan serta kepekaan terhadap lingkungan; Membangun kecintaan pada sekolah melalui kegiatan yang rekreatif dan fun.
Latihan-latihan dasar dapat di aplikasikan dalam bentuk games yang menarik pada pembelajaran Penjaskes di sekolah, karena tujuan-tujuan yang dikembangkan dalam pelatihan outbound identik dengan tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan di atas maka disarankan kepada guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan dapat mengembangkan proses pembelajaran yang menarik antara pembelajaran konvensional di ruang tertutup (kelas) dengan pembelajaran di ruang terbuka (outbound education), melalui permainan dan games yang menarik dan menantang, sehingga siswa memiliki sikap dan moral (attitude), keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), tanggung jawab (responsibility), dan accountability (pertanggungjawaban).
Program-program dasar latihan yang dikembangkan dalam outbound dapat dilaksanakan melalui program ekstrakurikuler, yang menggabungkan unsur-unsur pembinaan pendidikan Jasmani dan olahraga, pembinaan rohani dan mental serta kepramukaan sebagai program-program pendidikan yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan di sekolah.

Selasa, 30 November 2010

Penelitian Tindakan Kelas Guru

 Penelitian Tindakan Kelas Guru

PRINSIP-PRINSIP PTK
Akhir-akhir ini, Action Research menjadi populer dilakukan oleh para professional dalam upaya menyelesaikan masalah dan peningkatan mutu. Dengan demikian, Action Research selalu bermula dari suatu masalah yang terjadi dalam uatu aktivitas tertentu. Demikian juga halnya pada bidang pendidikan dan pengajaran.
Awal mulanya, Action Research yang dikembangkan oleh seorang psikolog (Kurt Lewin), dimaksud untuk mencari penyelesaian terhadap problema sosial antara lain: pengangguran, kenakalan remaja, yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Action Research dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap suatu problema tersebut secara sistematis. Hasil kijian ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun suatu rencana kerja sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanan dan rencana kerja yang telah disusun, dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang hasilnya digunakan sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada saat tahapah pelaksanaan. Hasil dari proses refleksi ini, kemudian melandasi upaya perbaikan dan penyempurnaan rencana tindakan selanjutnya.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, Action Research berkembang menjadi classroom Action Research (CAR) = Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sebagai suatu penelitian terapan, PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan proses dan kualitas atau hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan PTK, guru dapat menemukan penyelesaikan bagi masalah yang terjadi di kelasnya sendiri, dan bukan di kelas guru yang lain. Tentu saja dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu, sebagai peneliti praktis, PTK dilaksanakan bersamaan guru melaksanakan tugas utama yaitu mengajar di dalam kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswa. Dengan demikian, PTK merupakan suatu penelitian yang melekat pada guru, yaitu mengangkat masalah-masalah aktual yang dialami oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, diharapkan guru memiliki peran ganda, yaitu sebagai praktisi dan sekaligus peneliti.

1. Tindakan dan pengamatan dalam proses penelitian yang dilakukan tidak boleh mengganggu atau menghambat kegiatan utama, misalnya bagi guru tidak boleh sampai mengorbankan kegiatan atau proses belajar mengajar. Menurut Hopkins (1993: 57-61), pekerjaan utama guru adalah mengajar, dan apapun metode PTK yang kebetulan diterapkan, seyogyanya tidak berdampak mengganggu komitmen guru sebagai pengajar. Ada 3 hal yang dapat dikemukakan berkenaan dengan prinsip pertama ini. Pertama, dalam mencobakan sesuatu tindakan pembelajaran yang baru, selalu ada kemungkinan bahwa setidak-tidaknya pada awal-awalnya hasilnya kurang memuaskan dari yang dikehendaki. Bahkan mungkin kurang dari yang diperoleh dengan “cara lama” Karena bagaimanapun tindakan perbaika tersebut masih dalam taraf dicobakan. Guru harus menggunakan pertimbangan serta tanggung jawab profesionalnya dalam menimbang-nimbang : jalan keluar” yang akan mereka tempuh dalam rangka memberikan yang terbaik kepada siswa. Kedua, iterasi dari siklus tindakan juga dilakukan dengan mempertimbangkan keterlaksanaan kurikulum secara keseluruhan, khususnya dari segi pembentukan pemahaman yang mendalam yang ditandai oleh kemampuan menerapkan pengetahuan yang dipelajari melalui analisis, sintesis dan evaluasi informasi, bukan terbatas dari segi tersampaikannya GBPP kepada siswa dalam rukun waktu yang telah ditentukan. Ketiga, penetapan siklus tindakan dalam PTK mengacu kepada penguasaan yang ditargetkan pada tahap perancangan, dan sama sekali tidak mengacu kepada kejenuhan informasi sebagaimana lazim dipedomani dalam proses iteratif pengumpulan data penelitian kualitatif.

2.Masalah guru. Masalah penelitian yang diusahakan oleh guru seharusnya merupakan masalah yang cukup merisaukannya, dan berpijak dari tanggung jawab profesionalnya. Guru sendiri harus memiliki komitmen ini juga diperlukan sebagai motivator intrinsik bagi guru untuk “bertahan” dalam pelaksanaan kegiatan yang jelas-jelas menuntut lebih dari yang sebelumnya diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas mengajarnya secara rutin. Dengan kata lain, pendorong utama pelaksanaan PTK adalah komitmen profesional untuk memberikan layanan yang terbaik kepada siswa. Dilihat dari sudut pandang ini, desakan untuk sekedar menyampaikan pokok bahasan sesuai dengan GBPP dapat dan perlu ditolak karena alasan profesional yang dimaksud.

3. Tidak terlalu menyita waktu. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan bagi guru, sehingga berpeluang menggangu proses pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, sejauh mungkin harus digunakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangani sendiri oleh guru, sementara guru tetap aktif berfungsi sebagai guru yang bertugas secara penuh. Sebagai gambaran, penggunaan tape recorder memang akan menghasilkan rekaman yang lengkap dibanding dengan perekaman manual, namun peningkatan waktu yang diperlukan untuk mencermati data melalui pemutaran ulang mungkin akan segera terasa berlebihan. Oleh karena itu, dikembangkan teknik-teknik perekaman yang cukup sederhana, namun dapat menghasilkan informasi yang cukup signifikan serta dapat dipercaya.

4. Metode dan teknik yang digunakan tidak boleh terlalu menuntut dari segi kemampuan maupun waktunya.

5. Metodologi yang digunakan harus terencana cermat, sehingga tindakan dapat dirumuskan dalam suatu hipotesis tindakan yang dapat diuji di lapangan. Guru dapat mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk “menjawab” hipotesis yang dikemukakan oleh karena itu, meskipun pada dasarnya “terpaksa” memperbolehkan “kelonggaran – kelonggaran” namun penerapan asas – asas dasar telaah taan kaidah tetap harus dipertahankan.

6. Permasalahan atau topik yang dipilih harus benar – benar nyata, menarik, mampu ditangani, dan berada dalam jangkauan kewenangan peneliti untuk melakukan perubahan. Peneliti harus merasa terpanggil untuk meningkatkan diri.

7. Peneliti harus tetap memperhatikan etika dan tata krama penelitian serta rambu – rambu pelaksanaan yang berlaku umum. Dalam penyelenggaraan PTK, guru harus selalu bersikap konsisten menaruh kepedulian tinggi terhadap prosedur etika yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini penting ditekankan karena selain melibatkan para siswa, PTK juga hadir dalam suatu konteks organisasional, sehingga penyelenggaraannya pun harus mengindahkan tata krama kehidupan berorganisasi. Artinya, prakarsa PTK harus diketahui oleh pimpinan lembaga, disosialisasikan kepada rekan – rekan dalam lembaga terkait, dilakukan sesuai dengan tata krama penyusunan karya tulis akademik, di samping tetap mengedepankan kemaslahatan subjek didik.

8. Kegiatan penelitian tindakan pada dasarnya harus merupakan gerakan yang berkelanjutan ( on – going ), karena skope peningkatan dan pengembangan memang menjadi tantangan sepanjang waktu.

9. Meskipun kelas, sekaligus mata pelajaran merupakan cakupan tanggung jawab bagi seorang guru, namun dalam pelaksanaan PTK sejauh mungkin harus digunakan classroom exceeding perspective dalam arti permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kelas dan / atau mata pelajaran tertentu, melainkan dalam perspektif misi sekolah secara keseluruhan. Perspektif yang lebih luas ini akan terlebih – lebih lagi terasa urgensinya, apabila dalam suatu PTK, terlibat lebih dari seorang peneliti. Dapat juga dilakukan kolaborasi di antara dua atau lebih guru dalam satu sekolah dan / atau guru dari sekolah lain, termasuk dosen LPTK.


DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. (1999). Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research ). Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Hardjodipuro, S. (1997). Action Research. Jakarta: IKIP Jakarta.
Ishaq, M. F(1997). Action Research. Malang: Depdiknas.
Mukhlis, A. (2001). Penelitian Tindakan Kelas, Konsep Dasar dan Langkah – langkah. Surabaya: Unesa.
Susilo, H. (2003). “Konsep dan Prosedur Penelitian Tindakan Kelas bagi Pengembangan Profesi Guru dan Dosen MIPA.” Makalah Seminar Exchange Experience dan Workshop Pembelajaran MIPA Konstektual Menyongsong Implementasi KBK di Malang tanggal 9 – 12 Juli 2003.
Tim Pelatih Proyek GSM. (1999). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Jumat, 19 November 2010

HAND OUT ETIKA PROFESI


ETIKA PROFESI

I. Pendahuluan

Keberhasilan program pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun faktor internal pendidikan itu sendiri. Faktor eksternal di antaranya karakteristik masyarakat, kondisi ekonomi, sistem politik, dan tatanan kehidupan lainnya; sedangkan faktor internal di antaranya kurikulum, sarana dan prasarana, faktor peserta didik, dan faktor pendidik. Dari berbagai hasil studi terungkap bahwa dalam sistem pendidikan, faktor pendidik merupakan faktor yang sangat penting dari keseluruhan faktor yang berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan. Mengapa demikian? Karena peranan pendidik sulit digantikan oleh yang lain, artinya jika tugas-tugas pokoknya dalam membimbing, mengasuh, mengajar, dan atau melatih anak dilakukan melalui peran-peran sebagai administrator, pekerja sosial, manajer, dan sumber belajar yang lebih luas dari pekerjaannya sebagai pendidik, maka seluruh faktor lainnya akan diberdayakan untuk kepentingan tercapainya tujuan pendidikan.
Pendidikan anak usia dini perlu penanganan yang khas dibandingkan dengan pendidikan lainnya seperti pendidikan sekolah dasar, pendidikan SLTP, dan pendidikan SLTA, karena anak usia dini memiliki karakteristik perkembangan dan cara belajar yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih tua, sehingga diperlukan bimbingan yang khas pula agar anak dapat berkembang secara optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, kajian tentang profesi tenaga pendidik Pendidikan Anak Usia Dini perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak.
Layanan pendidikan anak usia dini hingga saat ini sebagian besar dilakukan oleh tenaga pendidik dengan kemampuan dasar yang bervariasi. Ditinjau secara akademik tenaga-tenaga pendidik tersebut berasal dari berbagai latar belakang yang pendidikan yang masih rendah dengan tingkat kemampuan yang dapat digolongkan masih kurang profesional. Karena itu dalam rangka memperluas kesempatan dan peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini perlu dilakukan berbagai upaya penyiapan dan pengembangan tenaga pendidik yang lebih profesional baik dilihat dari kualifikasi pendidikan maupun kompetensinya. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pendidik profesional, terlebih dahulu kita harus memahami beberapa pertanyaan sebagai berikut: Apakah yang dimaksud dengan profesi? Bagaimanakah ciri-ciri profesional dalam bidang pendidikan anak usia dini? Permasalahan-permasalahan apakah yang ada dalam profesi pendidik anak usia dini? Bagaimana upaya mengatasi permasalahan profesi pendidik anak usia dini? Bagaimana upaya mengembangkan profesi pendidik anak usia dini?.
Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, mata pelatihan ini mengajak saudara-saudara untuk menelaah dan memahami berbagai konsep dan prinsip-prinsip etika dan profesi pendidik Pendidikan Anak Usia Dini. Pada bagian berikutnya akan diuraikan materi-materi tentang hakikat profesi, profesi dalam bidang pendidikan anak usia dini, permasalahan profesi pendidik anak usia, dini, upaya mengatasi permasalahan profesi pendidik anak usia dini, serta pengembangan profesi pendidik pendidikan anak usia dini.
  
II. Deskripsi Materi

A. Hakikat Profesi

1. Pengertian Profesi

Pembahasan tentang profesi melibatkan istilah-istilah lain yang berkaitan, yaitu profesi, profesional, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas. Agar saudara-saudara dapat memahami perbedaan diantara istilah-istilah tersebut, pada bagian ini akan dijelaskan secara singkat pengertian-pengertian profesi, profesional, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas.
Istilah “profesi” menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap pekerjaan tersebut. Secara teori, suatu profesi tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih dan dididik atau disiapkan untuk menekuni pekerjaan tersebut. Profesi sebagai dokter tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak dilatih atau tidak pemperoleh pengalaman pendidikan kedokteran; profesi sebagai perawat tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memperoleh pendidikan keperawatan, profesi sebagai polisi tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memperoleh pelatihan dan pendidikan kepolisian, demikian pula profesi sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memperoleh pendidikan keguruan. Dan secara lebih khusus, profesi sebagai pendidik anak usia dini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bidang pendidikan anak usia dini.
Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Misalnya, “dia sangat profesional dalam melakukan tugasnya sebagai tutor kelompok bermain”; akan tetapi bisa juga menunjuk pada orangnya. “dia seorang profesional” (apakah sebagai dokter, jaksa, hakim, insinyur, atau guru). Profesionalisasi mengacu pada proses menjadikan seseorang sebagai profesional melalui pendidikan prajabatan dan atau dalam jabatan. Pendidikan prajabatan adalah upaya mempersiapkan sumber daya manusia sebelum mereka terjun ke dalam lapangan pekerjaan yang sesungguhnya, sedangkan pendidikan dalam jabatan adalah upaya pembinaan yang dilakukan terhadap mereka yang sudah memasuki dunia kerja sehingga kemampuannya meningkat. Misalnya penataran guru SD, pelatihan bagi tutor PAUD, dan sebagainya. Proses pendidikan ini biasanya dilakukan dalam waktu yang relative lama dan intensif.
Profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau kinerja seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi. Ada yang tingkat profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah. Profesionalisme juga mengacu pada sikap dan komitmen atau tanggung jawab anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi serta kode etik profesinya.
Pengertian profesi antara lain dikemukakan oleh Liebermann bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang diperoleh melalui latihan khusus yang memadai. Istilah latihan khusus yang memadai di sini sangat relatif karena Liberman tidak menentukan kekhususan lembaga dan jangka waktu yang tegas. Dengan demikian suatu profesi dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan formal atau non formal, begitu pula waktunya. Sementara itu Dedi Supriadi (1998:95) mengemukakan “Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap pekerjaan tersebut”.
Dalam literatur yang lain dikemukakan bahwa profesi adalah suatu pernyataan atau janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa profesi memiliki makna:
a. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan
b. Profesi adalah suatu pernyataan atau janji terbuka
b. Profesi mengandung unsur pengabdian,
Menurut World Confederation of Organization for Teaching Profession (WCOTP), profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang biasanya memerlukan persiapan yang relatif lama dan khusus pada tingkat pendidikan tinggi yang pelaksanaannya diatur oleh kode etik tersendiri, dan menuntut tingkat kearifan atau kesadaran serta pertimbangan pribadi yang tingi.
Berdasarkan pernnyataan WCOTP, batasan tentang profesi tampaknya lebih akademis dan formal, karena suatu pekerjaan sebagai sebuah profesi harus diperoleh melalui jenjang pendidikan tinggi yang dilaksanakan dalam waktu yang relatif lama, memiliki kode etik.

2. Ciri-ciri Profesi

Untuk memahami apakah suatu pekerjaan dapat dikatakan sebagai suatu profesi atau tidak, kita perlu memahami ciri-ciri profesi tersebut. Terdapat berbagai ciri-ciri profesi yang dikemukakan oleh para ahli. Liberman misalnya mengemukakan ciri-ciri profesi sebagai berikut:

a. Jabatan tersebut harus merupakan suatu layanan yang khas dan esensial serta dengan jelas dapat dibedakan dari jabatan lain.

b. Untuk pelaksanaannya tidak sekedar diperlukan keterampilan (skills) tetapi juga kemampuan intelektual.

c. Diperlukan suatu masa studi dan latihan khusus yang cukup lama.

d. Para praktisinya secara individual atau kelompok memiliki otonomi dalam bidangnya.

e. Tindakan dan keputusannya dapat diterima oleh para praktisi yang bertangung jawab.

f. Layanan tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan ekonomi, tetapi sebuah pengabdian

g. Memiliki suatu kode etik

World Confederation of Organization for Teaching Profession (WCOTP), secara mengemukakan cirri-ciri profesi sebagai berikut:

a. Profesi adalah panggilan jiwa

b. Fungsinya telah terumuskan dengan jelas

c. Menetapkan persyaratan-persyaratan minimal untuk dapat melakukannya (kualifikasi pendidikan, pengalaman, keterampilan)

d. Mengenakan disiplin kepada seluruh anggotanya dan biasanya bebas dari campur tangan kekuasaan luar.

e. Berusaha meningkatkan status ekonomi dan sosial para anggotanya.

f. Terbentuk dari disiplin intelektual masyarakat terpelajar dengan anggota-anggota dan terorganisasi
Mencermati ciri-ciri profesi sebagaimana diuraikan di atas, maka profesi adalah suatu pekerjaan yang mempunyai manfaat sosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat. Profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang lama dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan. Profesi didukung oelh suatu disiplin ilmu dan disiplin intelektual masyarakat terpelajar. Dalam profesi juga ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sangsi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Kode etik tersebut merupakan standar moral atau standar tingkah laku yang dikenakan pada semua anggota profesi yang bersangkutan. Sebagai contoh profesi guru di Indonesia juga memiliki Kode Etik Guru Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari layanan dan pengabdian yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataupun kelompok berhak memperoleh imbalan financial, namun imbalan hal tersebut bukanlah tujuan utama. Dalam rangka meningkatkan kemampuan profesional dan kesejahteraan para anggotanyanya, profesi juga memiliki wadah yang dapat menampung aspirasi, serta menghimpun suatu kekuatan anggota-anggotanya, yang disebut organisasi. Profesi guru di Indonsia memiliki organisasi PGRI, IGTKI, saat ini juga ada HIMPAUDI.

3. Status Profesi Guru

Status guru adalah martabat atau kedudukan guru yang dapat dilihat dari status akademik, status ekonomi, dan status organisasi.

a. Status Akademik:

Status akademik dapat diartikan bahwa martabat dan kedudukan guru dilihat persyaratan formal dan persyaratan substansial yang dimiliki oleh guru yang bersangkutan. Persyaratan formal berkaitan dengan latar belakang atau kualifikasi pendidikan guru tersebut, apakah guru tersebut berpendidikan SD, SLTP. SLTA, atau perguruan tinggi jenjang Diploma, 7
S1, S2, atau S3 misalnya. Atau berapa banyak jenis pendidikan dan latihan yang telah diikuti oleh guru tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan guru dan semakin banyak jenis pendidikan dan latihan yang pernah diikuti, maka semakin tinggi pula status akademik guru tersebut.
Persyaratan substansial berkaitan dengan tingkat kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut. Misalnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, setiap guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Semakin mampu menunjukkan kompetensi-kompetensi dimaksud secara nyata dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru, maka semakin profesional pula guru tersebut. Berdasarkan kedua persyaratan tersebut, maka seorang guru tidak cukup berlatar belakang pendidikan yang tinggi tetapi juga harus didukung oleh tingkat kemampuan yang ditampilkannya. Demikian pula seorang guru kemampuan yang dimiliki harus ditopang oleh latar belakang pendidikan yang sesuai dan memadai.

b. Status Ekonomi

Status ekonomi dapat diartikan bahwa martabat dan kedudukan guru dilihat dari penghasilan dan penghargaan yang diterimanya serta tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh pendidik itu sendiri. Status ekonomi ini sangat penting karena melibatkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia yang dasar, yaitu kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, dan kebutuhan papan atau perumahan. Akan tetapi tidak berarti bahwa kebutuhan manusia hanya meliputi kebutuhan dasar tersebut. A.H Maslow manusia mempunyai kebutuhan dasar yang urutannya sebagai berikut:

1) Kebutuhan fisiolgis yang pokok

2) Kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman

3) Kebutuhan bergaul dengan sesamanya

4) Kebutuhan akan harga diri dan berposisi, dan

5) Kebutuhan untuk mewujudkan diri.

Status ekonomi terutama berkaitan dengan kebutuhan pertama dan kedua dalam urutan dan tingkat kebutuhan menurut Maslow. Hal yang perlu diperhatikan dalam menilai status ekonomi suatu profesi yang berkenaan dengan penghasilan, tidak hanya dilihat dari besarnya penghasilan yang diterimanya, tetapi juga perlu disesuaikan dengan standar kehidupan yang berlaku di suatu tempat dan kurun waktu tertentu. Penghasilan yang diterima guru, misalnya diperoleh dari gaji pokok, jenis tunjangan-tunjangan yang meliputi tunjangan suami/istri, tunjangan anak, tunjangan fungsional, dan tunjangan profesi. Di samping itu status ekonomi juga dapat dilihat dari fasilitas yang diterima oleh guru, misalnya hak cuti, hak mendapatkan asuransi kesehatan, hak mendapatkan pensiun, mendapatkan santunan kecelakaan dalam dan arena menjalankan tugas dan sebagainya. Apakah secara ekonomi para pendidik di kita sudah mendapatkan penghasilan, fasilitas dan penghargaan yang memadai? Ini adalah sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan oleh kita bersama.

c. Status Organisasi

Martabat dan kedudukan guru dilihat dari eksistensi organisasi profesinya. Untuk melihat apakah suatu organisasi profesi itu eksis atau tidak kita dapat melihatnya berdasarkan dua criteria, ayitu criteria intern dan kriteria ekstern. Kriteria intern berkaitan dengan otonomi organisasi, yaitu keutuhan dan kemampuan organisasi profesi tersebut dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, misalnya meningkatkan kesejahteraan para anggotanya baik kesejahteraan lahir maupun kesejahteraan batin. Kesejahteraan lahir misalnya berkaitan dengan kemampuan organisasi profesi tersebut untuk meningkatkan penghasilan, sedangn organisasi profesi tersebut menjadi wadah untuk menampung aspirasi para anggotanya. Kriteria ekstern berkenaan dengan kemampuan organisasi profesi untuk melaksanakan fungsinya terhadap lingkungan. Misalnya kemampuannya untuk turut serta memberikan kontribusi tentang kebijakan-kebijakan pendidikan, serta kemampuan melaksanakan kerja sama dengan organisasi profesi lainnya baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

B. Profesi Tenaga Pendidik Anak Usia Dini

1. Ciri-ciri Profesional dalam Pendidikan Anak usia Dini

Berdasarkan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Mengacu pada pasal tersebut, maka yang dimaksud dengan tenaga pendidik pada satuan pendidikan anak usia dini/program PAUD adalah mereka yang bertugas memfasilitasi proses pengasuhan dan pembelajaran pada anak usia dini pada program/lembaga PAUD, baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal, serta memiliki komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini (Hasil Perumusan Semiloka Nasional PAUD, 2003:19).
Berdasarkan rumusan di atas, jelas bahwa agar pendidikan anak usia dini lebih bermutu maka harus ditangani oleh tenaga pendidik yang profesional. Tugas dan pekerjaan membimbing anak usia dini yang profesional tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus dilakukan oleh pendidik yang profesional pula. Bagaimana karakteristik tenaga pendidik yang profesional itu? Janice Beaty (1994) mengemukakan bahawa tenaga pendidik anak usia dini yang profesional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki komitmen terhadap profesinya

Seorang pendidik anak usia dini yang profesional harus memiliki komitmen atau tanggung jawab yang besar terhadap tugas dan pekerjaannya. Komitmen atau tanggung jawab tersebut antara lain ditunjukkan dengan mendahulukan kepentingan anak yang menjadi asuhannya dari pada mendahulukan kepentingan pribadinya. Misalnya setelah selesai mengajar di sebuah kelompok bermain, seorang guru bermaksud akan menghadiri seminar, tetapi tiba-tiba ada orang tua anak yang mau berkonsultasi dengan guru itu berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi anaknya. Seorang pendidik yang profesional pasti akan mendahulukan untuk melayani orang tua anak sebelum menghadiri seminar yang te;ah direncanakannya.

b. Berperilaku etis

Pendidik anak usia dini harus berperilaku etis atau sopan dan santun terhadap anak dan keluarganya di mana pun dan kapan pun. Misalnya seorang guru anak usia dini tidak menceriterakan kelemahan-kelemahan anak kepada orang tuanya di hadapan anak itu sendiri, atau menceriterakan kekurangan seorang anak kepada anak lain. Demikian pula seorang guru anak usia dini harus berperilaku sopan dan santun terhadap keluarga anak itu sendiri. Misalnya tidak menceriterakan kelemahan orang tua anak kepada orang tua anak yang lain. Dengan demikian pendidik anak usia dini harus bisa menjaga rahasia dan menghargai anak dan keluarganya, sehingga mereka merasa nyaman.

c. Memiliki dasar pengetahuan dalam bidangnya

Pendidik anak usia dini harus memiliki dasar-dasar pengetahuan di bidang yang menjadi tugas dan pekerjaannya. Dasar-dasar pengetahuan yang harus dimiliki oleh pendidik anak usia dini antara lain: pengetahuan tentang perkembangan dan cara belajar anak, strategi pembelajaran anak usia dini, evaluasi perkembangan anak, pengetahuan tentang kesehatan dan gizi anak, alat permainan dan sumber belajar bagi anak, kurikulum anak usia dini, dan sebagainya. Tanpa memiliki dasar pengetahuan yang emadai, seorang pendidikan anak usia dini tidak mungkin dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Semua jenis pengetahuan tersebut akan memperluas wawasan guru

d. Telah memperoleh dan menyelesaikan beberapa bentuk pelatihan

Pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pendidikan anak usia dini sangat penting diikuti oleh pendidik anak usia dini, karena hal ini akan menambah dan memperluas wawasan dan keterampilan yang menjadi bidang tugasnya. Upaya memperluas dan meningkatkan wawasan dan keterampilan tersebut dapat dilakukan melalui jalur formal maupun jalur non formal. Apalagi saat ini pendidikan anak usia dini mulai mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat sehingga pendidikan dan latihan, forum-forum seminar, dan lokakarya juga banyak diselenggarakan. Hal ini sebaiknya menjadi jalan bagi pendidik anak usia dini untuk selalu terus meningkatkan kemampuannya.

e. Telah memberikan berbagai bentuk layanan pendidikan anak usia dini

Pendidik anak usia dini yang profesional tidak hanya memiliki pengalaman pendidikan dan latihan, tetapi juga telah memberikan layanan yang berkaitan dengan pendidikan anak usai dini. Misalnya sebagai tutor kelompok bermain, sebagai pengelola PAUD, sebagai konsultan, pemerhati anak, dan sebagainya.
Di samping ciri-ciri di atas, kita perlu juga memperhatikan kebijakan pemerintah berkaitan dengan tenaga pendidik anak usia dini. Pasal 29 ayat 1 Standar Nasional Pendidikan mempersyaratkan bahwa tenaga pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki:

a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1).
b. Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan



c. Sertifikat profesi guru untuk PAUD

Ayat di atas menunjukkan bahwa saat ini pemerintah menaruh perhatian yang besar terhadap pentingnya pendidikan anak usia dini, sebab pengalaman pendidikan pada masa usia dini akan menjadi dasar bagi pendidikan pada tahap-tahap selanjutnya.

2. Kompetensi Tenaga Pendidik Anak Usia Dini

Untuk menjadi pendidik yang profesional di bidang pendidikan anak usia dini terdapat berbagai kompetensi yang harus dimiliki. Apakah yang dimaksud dengan kompetensi? “Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah indikatornya yang dapat diukur dan diamati. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual” (Kurikulum 2004). Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28 ayat 3, kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

a. Kompetensi Pedagogik

b. Kompetensi Kepribadian

c. Kompetensi Profesional

d. Kompetensi Sosial


a. Kompetensi pedagogik berkaitan dengan kemampuan tenaga pendidik untuk menjadi teladan bagi anak, kemampuan menginternalisasikan nilai-nilai dalam tindakannya, menjadikan kasih sayang sebagai dasar dalam mendidik anak, memiliki tanggung jawab
yang tinggi terhadap anak, menampilkan hubungan kewibawaan antara dirinya dengan anak didi.


b. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan pendidik untuk menampilkan pribadinya secara utuh, antara lain meliputi

1) Siap mendengarkan anak untuk memahami keluhan dan perasannya

2) Menggunakan komunikasi personal baik secara lisan (verbal (lisan) maupun dengan tindakan (non verbal) melindungi anak tanpa mengorbankan spontanitas dan kegembiraannya

3) Menghargai perbedaan dan keunikan anak, serta tanggap terhadap kesulitan yang dihadapi anak

4) Memiliki kepedulian, sikap empati, responsife, mampu memberi dorongan dan semangat kepada anak

5) Sabar dalam menghadapi setiap kesulitan

6) Membawa humor dan imajinasi ke dalam kelompok anak

7) Bertanggung jawab untuk memaksimalkan potensi anak dan keluarganya.


c. Kompetensi profesional adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus ditampilkan pendidik dalam melaksanakan tugasnya secara khusus sebagai pendidik anak usia dini. Kompetensi ini antara lain meliputi:

1) Mengetahui dan mamahami karakteristik kebutuhan dan perkembangan anak, serta mampu menerapkannya dalam praktek

2) Memiliki berbagai pengetahuan dalam bidang pendidikan anak usia dini

3) Mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan dan cara belajar anak

4) Menggunakan pengetahuan tentang perkembangan anak untuk menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang kondusif dan menantang

5) Merencanakan dan melaksanakan kurikulum yang berorientasi perkembangan (fisik-motorik, sosial-emosi, kognitif, kreavitas, bahasa)

6) Memahami tujuan dan manfaat penilaian bagi perkembangan anak

7) Memahami dan mampu mempraktekkan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bermitra dengan keluarga dan profesi lain

8) Menggunakan berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan anak

9) Mengembangkan kurikulum yang bermakna dan sesuai dengan karakteristik perkembangan dan kebutuhan anak

10) Bersikap kreatif, inovatif dan terbuka terhadap ide-ide baru.


d. Kompetensi sosial antara lain meliputi:

1) Memahami anak dalam konteks keluarga, budaya, dan masyarakatnya

2) Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang keluarga dan masyarakat

3) Mendukung dan memberdayakan keluarga dan masyarakat melalui hubungan timbale balik yang saling menghargai

4) Melibatkan keluarga dan masyarakat dalam mendukung perkembangan dan belajar anak

5) Mampu berkomunikasi, bekerja sama serta memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada di lingkungan keluarga dan masyarakat baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Dalam prakteknya, tentu saja keempat jenis komptensi tersebut satu sama lain tidak dapat dipisahkan, akan tetapi merupakan suatu kesatuan yang integral dan utuh yang harus terinternalisasi dalam diri pendidik.
Di samping kompetensi-kompetensi sebagaimana dikemukakan di atas, menurut Janice (1994) pendidik anak usia dini perlu memiliki sejumlah keterampilan sebagai berikut:

a. Memelihara keselamatan kelas

b. Memelihara kesehatan kelas

c. Menata atau mengelola lingkungan belajar

d. Meningkatkan keterampilan fisik

e. Meningkatkan keterampilan kognitif (daya pikir)

f. Meningkatkan keterampilan kreatif (daya cipta)

g. Meningkatkan keterampilan sosial

h. Meningkatkan keterampilan komunikasi

i. Mengembangkan konsep diri yang positif

j. Memberikan bimbingan

k. Mengelola program

l. Meningkatkan keterlibatan keluarga

m. Meningkatkan profesionalisme


C. Permasalahan Profesi Pendidik PAUD

Pendidikan anak usia dini memegang posisi yang sangat mendasar, karena pendidikan pada masa ini memberikan pengaruh yang sangat membekas pada perkembangan anak di fase-fase selanjutnya. Karena itu pendidikan anak usia dini perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Sayangnya masih banyak permasalahan yang harus ditangani secara serius. Berkaitan dengan profesi tenaga pendidik PAUD ada beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian antara lain: 16

1. Masih sangat terbatasnya jumlah tenaga pendidik dan kependidikan untuk anak usia dini. Sementara jumlah anak usia dini yang belum tersentuh oleh layanan pendidikan anak usia dini pun masih banyak. Sampai tahun 2001 jumlah mereka (anak usia 0-6 tahun) yang belum terlayani diperkirakan sebanyak 19 juta anak atau 73% (EFA Indonesia 2001).


2. Kualifikasi pendidikan tenaga pendidik yang sudah ada relatif masih belum memenuhi persyaratan. Layanan-layanan PAUD sebagian besar dilakukan oleh tenaga pendidik dengan kualifikasi pendidikan dengan kemampuan dasar yang bervariasi. Di lihat dari latar belakang pendidikan masih banyak tenaga pendidik anak usia dini (khususnya PAUD non formal yang berlatar belakang pendidikan SLTA ke bawah), sementara Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 mempersyaratkan bahwa pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1). Dengan demikian tenaga pendidik anak usia dini masih perlu ditingkatkan kualifikasinya sampai memenuhi tuntutan yang dipersyaratkan.

Rendahnya kualitas kemampuan tenaga pendidik anak usia dini ini berimplikasi terhadap rendahnya kualitas pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan di lembaga-lembaga PAUD. Sebagai contoh hingga saat ini masih terjadi praktik-praktik pendidikan anak usia dini yang dipandang kurang tepat sehingga menimbulkan banyak kritik. Misalnya pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran yang terlalu akademis, terstruktur dan kaku; atau kegiatan pembelajaran yang lebih menekankan pada membaca, menulis, dan berhitung; sementara di sisin lain masih banyak aspek perkembangan anak yang belum mendapatkan perhatian yang seimbang seperti pengembangan kreativitas, kemandirian, pengembangan konsep diri yang positif, pengendalian diri, serta perilaku-perilaku positif lainnya.
Terjadinya kekeliruan dalam praktek pendidikan dan pembelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini ini, antara lain disebabkan karena begitu tingginya tuntutan dan tekanan faktor lingkungan terutama orang tua dan masyarakat serta masih kurangnya pemahaman dan pandangan para pendidik sendiri tentang makna pendidikan anak usia dini. Masyarakat memandang bahwa pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang diselenggarakan sebagai penyiapan sekolah dasar, sehingga dengan pandangannya seperti itu pendidikan anak usia dini lebih berfungsi sebagai penyiapan anak untuk menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung.

3. Seiring dengan masih rendahnya kualifikasi dan kemampuan tenaga pendidik anak usia dini, penghargaan masyarakat terhadap pendidik PAUD sebagai suatu profesi pun belum menggembirakan. Bahkan masih adanya kecenderungan anggapan bahwa mengajar di lembaga PAUD adalah pekerjaan yang gampang, sehingga dapat dilakukan oleh siapa pun, yang penting ada kemauan. Akibatnya pekerjaan sebagai pendidik PAUD dipandang sebagai pekerjaan yang dapat dibayar dengan murah.


4. Masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan/program studi khusus untuk pendidikan anak usia dini dan terbatasnya penelitian di bidang pendidikan ini. Perguruan Tinggi di Indonesia yang pernah menyelenggarakan program Diploma II PGTK saat ini sedang mengalami masa transisi berkaitan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mempersyaratkan tenaga pendidik anak usia dini minimal harus berkualifikasi pendidikan S-1 dari program studi yang relevan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sudah mengeluarkan rambu-rambu penyelenggaraan Pembukaan Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD). Ini memberikan peluang pada Perguruan Tinggi yang telah menyelenggarakan pendidikan diploma dua (D-II) PGTK untuk mengubah namanya, sehingga lulusannya tidak hanya terbatas untuk memasuki lapangan pekerjaan di lembaga PAUD formal (TK dan RA) tetapi juga merambah ke PAUD non formal.


5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pendidik PAUD masih terbatas dan masih kurang intensif. Dibandingkan dengan lembaga-lembaga PAUD formal (TK dan RA), keberadaan lembaga PAUD non formal relatif masih muda, karena pelaksanaan PAUD non formal secara kelembagaan baru dimulai pada tahun 2001 dengan dibukanya Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU) yang ada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (Ditjen PLSP). Pada tahun 1999 IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) pernah diberi kepercayaan untuk mendidik sejumlah 108 calon guru PAUD non formal melalui pendidikan Program D-II PGTK, dan setelah lulus mereka ditempatkan di daerahnya masing-masing (Pandeglang, Tangerang, Indramayu, dan Lebak) untuk menjadi tenaga pendidik PAUD non formal (Kelompok Bermain).


6. HIMPAUDI sebagai salah wadah yang dapat menampung aspirasi tenaga pendidik PAUD, belum menjadi organisasi profesional yang kokoh dan kuat. Hal ini dapat dimaklumi karena usianya yang relatif masih baru.

Penampilan masalah-masalah tersebut diharapkan dapat menyadarkan kita semua, agar kita semua berupaya mengatasinya.

D. Upaya Mengatasi Permasalahan Profesi Pendidik PAUD

Pada bagian sebelumnya anda telah membaca uraian tentang permasalahan profesi tenaga pendidik PAUD. Pada bagian ini anda diajak untuk mencermati bagaimana upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Permasalahan profesi pendidik pendidikan anak usia dini terutama berkaitan dengan kuantitas (jumlah), kualitas (mutu), relevansi (kesesuaian antara keahlian dengan kebutuhan lapangan) baik menyangkut kuantitas, kualifikasi pendidikan, maupun kualitasnya, penyelenggaraan pendidikan prajabatan, dan penyelenggaraan pendidikan dalam jabatan, serta masalah organisasi profesi PAUD. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi beberapa permasalahan tersebut adalah:

1. Memberdayakan sumber daya manusia yang potensial yang ada di daerah setempat. Latar belakang pendidikan calon pendidik juga harus menjadi pertimbangan, karena penanganan anak usia dini yang berkualitas tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Yang berlatar belakang pendidikan sarjana mungkin masih sangat langka, karena itu warga masyarakat yang berpendidikan SLTA dapat menjadi prioritas, yang penting mereka punya keinginan dan motivasi untuk memajukan pendidikan anak usia dini di daerahnya. Namun sebelum terjun mejadi pendidik, mereka perlu mendapatkan pelatihan yang intensif sehingga mereka memiliki bekal untuk bekerja di bidang tersebut.


2. Untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan pendidik yang saat ini sudah menekuni bidang pendidikan anak usia dini, perlu ada penyenggaraan pendidikan dan latihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendidikan dan latihan tersebut sebaiknya dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memiliki program studi yang relevan, Misalnya PG PAUD.

3. Berkaitan dengan masih rendahnya penghargaan masyarakat terhadap pendidik PAUD, hendaknya pemerintah memfasilitasi dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para tenaga pendidik tersebut untuk dapat meningkatkan kualifikasinya melalui jenjang pendidikan S1 dalam program studi yang relevan. Dengan adanya peningkatan kualifikasi pendidikan ini, maka tenaga pendidik PAUD memiliki posisi yang sejajar dengan tenaga pendidik pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SD, SLTP, PAUD formal yang pada gilirannya akan meningkatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap mereka. Peningkatan kualifikasi pendidikan tersebut tentu harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang lebih layak.


4. Dalam kaitannya dengan masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus pendidikan anak usia dini, pemerintah hendaknya memberikan peluang yang lebih besar dan mempermudah perizinan pembukaan program studi pendidikan anak usia dini. Dengan dibukanya peluang ini maka akses warga masyarakat khususnya lulusan SLTA untuk memasuki program studi pendidikan anak usia dini akan semakin mudah. Disamping membuka program regular, LPTK pun hendaknya diberi peluang untuk membuka program non regular, mislanya “dual modes” (sistem pembelajaran melalui dua cara yaitu modul dan tutorial).


5. Pendidikan dan pelatihan berjenjang merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan tenaga pendidik PAUD. Namun tentu saja penyelenggaraan pendidikan jenis ini harus setara dengan penyelenggaraan jenjang S1 reguler baik dari substansi programnya maupun dari bobot atau jam pelatihannya sehingga keikutsertaan mereka dalam pendidikan dan pelatihan ini dapat dipertanggungjawabkan jika mereka akan mengikuti studi lanjut dalam jalur pendidikan formal.

6. Perlu ada sosialisasi yang lebih luas dan intensif tentang organisasi profesi PAUD kepada para pendidik PAUD (formal dan non formal), sehingga keberadaan organisasi ini dapat memberdayakan dan mengeksistensikan mereka secara optimal.


E. Upaya Pengembangan Profesi Pendidikan PAUD

Pengembangan profesi tenaga pendidik PAUD secara garis besar dapat dilakukan melalui dua macam jalur, yaitu jalur individual, dan jalur kelembagaan. Jalur individual adalah usaha pengembangan profesi yang dilakukan oleh setiap orang baik secara langsung maupun tidak langsung melaksanakan pekerjaan dan tugas sebagai pendidik (guru, tutor, fasilitator atau sebutan lainnya). Sedangkan jalur kelembagaan adalah upaya pengembangan profesi pendidik PAUD yang diselenggarakan melalui lembaga pendidikan formal, non formal, dan organisasi profesi.

1. Pengembangan melalui jalur individual

Upaya-upaya individual yang dapat dilakukan pendidik PAUD dalam mengembangkan kemampuan profesional, antara lain dengan jalan:

a. Belajar mencintai pekerjaan sebagai pendidik (guru, tutor, fasilitator). Ini berarti bahwa guru belajar mencari hal-hal yang positif dari pekerjaannya sebagai pendidik, kemudian mensyukuri pekerjaan tersebut. Mencintai pekerjaan dapat terjadi bila kita merasa dekat dan akrab dengan pekerjaan itu, lalu menghayati makna pekerjaan itu bagi diri sendiri, bagi anak didik, bagi masyarakat dan bagi agama.


b. Membaca majalah, jurnal, artikel, dan surat kabar yang relevan dengan pendidikan anak usia dini. Kehidupan mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam segala bidang termasuk bidang pendidikan. Karena itu agar para pendidik tidak tertinggal oleh perkembangan dunia pendidikan anak usia dini, maka pendidik perlu mengikuti perkembangan tersebut secara kritis dengan jalan membaca sumber-sumber bacaan yang tepat.

c. Belajar melalui bekerja (learning by doing). Ini adalah cara yang sangat efektif untuk mengembangkan kemampuan profesional. Melalui bekerja para pendidik memperoleh pengalaman yang berharga. Darinya para pendidik juga dapat mengkaji apakah yang kita lakukan itu sudah tepat atau belum. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat dijadikan dasar bagi para pendidik untuk memperbaiki kekeliruan dan kesalahan misalnya dalam merencanakan pembelajaran, menyajikan materi pembelajaran, menerapkan metode pembelajaran, memilih dan menggunakan media pembelajaran, serta mengevaluasi perkembangan anak. Dengan demikian ketepatan dalam bekerja dapat dijadikan dasar untuk memperkuat dan memantapkan pekerjaan tersebut.


d. Menonton film-film yang relevan dengan bidang pendidikan anak usia dini. Dewasa ini sangat banyak film-film yang dikemas dalam Video Compact Disk (VCD) atau sejenisnya yang disajikan demikian menarik. Media seperti itu dapat menambah wawasan para pendidik untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.


e. Belajar bersama kawan atau teman sejawat. Melalui pertemuan yang dapat dilakukan secara rutin dan berkala, para pendidik dapat membahas permasalahan yang ditemui di tempat kerja masing-masing. Dengan belajar bersama teman sejawat, kita juga dapat berbagi pengalaman yang berharga tentang masalah menghadapi anak, mengelola pembelajaran, menyusun program pembelajaran, dan sebagainya.


f. Belajar melalui penataran, seminar, lokakarya, dan pelatihan bidang pendidikan anak usia dini. Melalui kegiatan-kegiatan seperti ini, para pendidik dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan keterampilan yang sangat penting bagi peningkatan kualitas pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran anak usia dini. Hasil-hasil pelatihan-pelatihan tersebut hendaknya dicoba diterapkan sesuai dengan kondisi lembaga PAUD masing-masing, atau disosialisasikan kembali kepada teman-teman yang tidak berkesempatan mengikutinya sehingga akan memantapkan wawasan dan keterampilan kita. Di samping itu juga memberikan manfaat kepada orang lain.

g. Masuk sebagai anggota organisasi profesi, misalnya IGTKI, HIMPAUDI atau forum PAUD dan sebagainya. Melalui cara ini, para pendidik akan semakin lebih memantapkan profesinya sebagai pendidik.


2. Pengembangan Melalui Jalur Kelembagaan

Upaya-upaya pengembangan profesi pendidik PAUD non formal yang dapat dilakukan melalui jalur kelembagaan antara lain:

a. Dibukanya kesempatan yang lebih terbuka dan lebih luas bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk menyelenggarakan Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak usia Dini (PG-PAUD).


b. Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK) yang telah menyelenggarakan program studi PG-PAUD hendaknya lebih mengintensifkan pelaksanaan proses pendidikan guru. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan lebih memantapkan kurikulumnya sehingga secara konsepsional atau teoritis sesuai dengan tingkat dan jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh pihak lapangan.


c. Lebih mengintensifkan kerja sama antar lembaga pendidikan prajabatan/persiapan, lembaga pelatihan/penataran dan lembaga PAUD sebagai medan kerja pendidik PAUD.

d. Mengaitkan penyelenggaraan pelatihan/penataran dengan peningkatan kualifikasi pendidikan. Hasil pelatihan/penataran hendaknya dihargai seperti pendidikan persiapan, sehingga dapat dipergunakan untuk menentukan kewenangan akademis.


e. Lebih banyak melakukan penelitian yang berkaitan dengan profesi pendidik PAUD, sehingga hasil temuannya dijadikan dasar untuk lebih mengembangkan profesi pendidik PAUD tersebut.


3. Pengembangan Melalui Jalur Organisasi Profesi

Upaya-upaya yang dapat dilakukan melalui jalur organisasi profesi antara lain:

a. Secara bertahap menguatkan keanggotaan organisasi profesi pendidik PAUD non formal. Secara bijaksana dan berangsur-angsur keanggotaan organisasi profesi pendidik PAUD non formal ditingkatkan sehingga mempunyai kualifikasi pendidikan formal jenjang S1 serta kemampuan nyata yang bertingkat perguruan tinggi.

b. Secara berangsur-angsur dan bijaksana, diusahakan agar kode etik guru mampu menjiwai kehidupan profesional guru.

c. Organisasi profesi hendaknya lebih intensif untuk meningkatkan usaha memperkaya kegiatan forum-forum ilmiah yang membahas masalah-masalah profesional pendidikan anak usia dini dan upaya pemecahannya.

Demikianlah upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan profesi pendidik PAUD non formal. Mudah-mudahan uraian ini dapat memperluas pemahaman peserta pelatihan dalam rangka
mengembangkan kemampuan profesional di bidangnya.

III. Rangkuman

Pada hakikatnya profesi suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian khusus, tanggung jawab, dan kesetiaan dan pengabdian terhadap pekerjaan tersebut.
Profesi memiliki ciri-ciri: a. Suatu pekerjaan yang didasakan atas panggilan jiwa, b. Fungsinya telah terumuskan dengan jelas, c. Untuk pelaksanaannya tidak sekedar diperlukan keterampilan (skills) tetapi juga kemampuan intelektual, d. Diperlukan suatu masa studi dan latihan khusus yang cukup lama, e. Para praktisinya memiliki otonomi dalam bidangnya, f. Tindakan dan keputusannya dapat diterima oleh para praktisi yang bertangung jawab, g. Layanannya adalah suatu pengabdian, h. Memiliki suatu kode etik, dan i. memiliki organisasi profesi.
Status atau martabat dan kedudukan guru sebagai pendidik dapat dilihat dari status akademik, status ekonomi, dan status organisasi. Status akademik mempersyaratkan dua hal, yaitu persyaratan formal (latar belakang dan kualifikasi pendidikan), dan persyaratan substansial (kemmapuan). Status ekonomi berarti bahwa martabat dan kedudukan guru dilihat dari penghasilan dan penghargaan yang diterimanya serta tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh pendidik itu sendiri. Status organisasi berarti bahwa martabat dan kedudukan guru dilihat dari eksistensi organisasi profesinya yang mempersyaratkan kriteria intern (otonomi organisasi), dan kriteria ekstern (kemampuan organisasi profesi untuk melaksanakan fungsinya terhadap lingkungan).
Tenaga pendidik pada satuan pendidikan anak usia dini/program PAUD adalah mereka yang bertugas memfasilitasi proses pengasuhan dan pembelajaran pada anak usia dini pada program/lembaga PAUD, baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal, serta memiliki komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini.
Tenaga pendidik anak usia dini yang profesional memiliki ciri-ciri: a. Memiliki komitmen terhadap profesinya, b. Berperilaku etis atau sopan dan santun terhadap anak dan keluarganya, c. Memiliki dasar pengetahuan dalam bidangnya, d. Telah memperoleh dan menyelesaikan beberapa bentuk pelatihan, e. Telah memberikan berbagai bentuk layanan pendidikan anak usia dini.
Tenaga pendidik pada pendidikan anak usia dini harus memiliki: a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), b. Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan c. Sertifikat profesi guru untuk PAUD. Di samping itu, pendidik pada satuan pendidikan anak usia dini harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi Sosial.
Pendidik anak usia dini harus memiliki sejumlah keterampilan yang meliputi: memelihara keselamatan kelas, memelihara kesehatan kelas, menata atau mengelola lingkungan belajar, meningkatkan keterampilan fisik, meningkatkan keterampilan kognitif, meningkatkan keterampilan kreatif, meningkatkan keterampilan sosial, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, mengembangkan konsep diri yang positif, memberikan bimbingan, mengelola program, meningkatkan keterlibatan keluarga, dan meningkatkan profesionalisme.
Terdapat beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan profesi tenaga pendidik PAUD non formal, antara lain: a. Masih sangat terbatasnya jumlah tenaga pendidik dan kependidikan untuk anak usia dini, b. Kualifikasi pendidikan tenaga pendidik yang sudah ada relatif masih belum memenuhi persyaratan, c. Penghargaan masyarakat terhadap pendidik PAUD sebagai suatu profesi pun belum menggembirakan, d. Masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus untuk pendidikan anak usia dini dan terbatasnya penelitian di bidang pendidikan ini, e. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pendidik PAUD masih terbatas dan masih kurang intensif, f. organisasi profesional pendidik PAUD belum berkembang secara kokoh dan kuat. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain; a. Memberdayakan sumber daya manusia yang potensial yang ada di daerah setempat, b. Perlu ada penyenggaraan pendidikan dan latihan yang sesuai dengan kebutuhan pendidik PAUD, c. Pemerintah memfasilitasi para tenaga pendidik untuk dapat meningkatkan kualifikasinya melalui jenjang pendidikan S1 dalam program studi yang relevan, d. Pemerintah memberikan peluang dan mempermudah perizinan pembukaan program studi PG-PAUD pada LPTK, e. Perlu adanya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berjenjang untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan tenaga pendidik PAUD dengan substansi dan bobot materi pelatihan yang dapat dipertanggungjawabkan, f. Perlu ada sosialisasi yang lebih luas dan intensif tentang organisasi profesi PAUD kepada para pendidik PAUD non formal, sehingga keberadaan organisasi ini dapat memberdayakan mereka secara optimal.
Pengembangan profesi tenaga pendidik PAUD non formal dapat dilakukan melalui jalur individual dan jalur kelembagaan. Pengembangan melalui jalur individual dapat dilakukan melalui: a. Belajar mencintai pekerjaan sebagai pendidik, b. Membaca majalah, jurnal, artikel, dan surat kabar yang relevan dengan PAUD, c. Belajar melalui bekerja d. Menonton film-film yang relevan dengan bidang e. Belajar bersama kawan, f. Belajar melalui penataran, seminar, lokakarya, dan pelatihan bidang PAUD. Masuk sebagai anggota organisasi profesi PAUD.
Pengembangan melalui jalur kelembagaan dapat dilakukan melalui upaya-upaya: a. Dibukanya kesempatan yang lebih terbuka dan lebih luas bagi LPTK untuk menyelenggarakan Program Studi PG-PAUD. LPTK yang telah menyelenggarakan program studi PG-PAUD hendaknya lebih mengintensifkan pelaksanaan proses pendidikan guru, c. Lebih mengintensifkan kerja sama antar lembaga pendidikan prajabatan/persiapan, lembaga pelatihan/penataran dan lembaga PAUD sebagai medan kerja pendidik PAUD, d. Mengaitkan penyelenggaraan pelatihan/penataran dengan peningkatan kualifikasi pendidikan, e. Lebih banyak melakukan penelitian yang berkaitan dengan profesi pendidik PAUD.
Pengembangan melalui jalur organisasi profesi dapat dilakukan mealui upaya-upaya: a. Secara bertahap menguatkan keanggotaan organisasi profesi pendidik PAUD non formal, b. Secara berangsur-angsur dan bijaksana, diusahakan agar kode etik guru mampu menjiwai kehidupan profesional guru, c. Organisasi profesi hendaknya lebih intensif untuk meningkatkan usaha memperkaya kegiatan forum-forum ilmiah yang membahas masalah-masalah profesional pendidikan anak usia dini dan upaya pemecahannya.

IV. Latihan

a. Anda mungkin pernah mengikuti kegiatan-kegitan pelatihan, penataran, seminar, atau lokakrya yang berkaitan dengan pendidikan anak usia dini. Coba anda kemukakan pengetahuan dan keterampilan apakah yang pernah anda ikuti. Manfaat apa yang anda peroleh dari kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan pengembangan profesi anda?


b. Dari beberapa jenis keterampilan yang harus dimiliki oleh pendidik PAUD non formal sebagimana dikemukakan di atas, keterampilan yang manakah yang sudah anda kuasai? Coba anda kemukakan hal-hal apakah yang pernah anda lakukan berkaitan dengan keterampilan yang anda kuasai tersebut. Keterampilan apa saja yang paling anda belum kuasai? Apa upaya yang akan lakukan agar anda mengusai keterampilan tersebut?


V. Tes Formatif

1. Apakah yang dimaksud dengan profesi, kemukakan ciri-ciri profesi tersebut !

2. Status profesi pendidik dapat dilihat dari status akademik, status ekonomi, dan status organisasi. Jelaskan pengertian dari status profesi tersebut.

3. Kemukakan ciri-ciri pendidik anak usia dini yang profesional sebagaimana dikemukakan oleh Janice Beaty! Berikan contohnya!

4. Berikan masing-masing sebuah contoh seorang pendidik yang menampilkan kompetensi pedagogik, kompetensi kpribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial!

5. Kemukakan sebuah permasalahan profesi pendidik PAUD non formal. Bagimana upaya mengatasinya?

6. Pengembangan profesi pendidik PAUD non formal dapat dilakukan melalui jalur individual dan jalur kelembagaan. Coba anda jelaskan upaya yang dapat ditempuh untuk megembangkan profesi pendidik PAUD melalui dua jalur tersebut.


VI. Glosarium

Kode Etik: standar moral atau standar tingkah laku yang dikenakan kepada setiap anggota profesi
Pendidikan Anak Usia Dini: pendidikan yang dislenggarakan bagi anak usia 0-8 tahun
PGRI: Persatuan Guru-Guru Republik Indonesia
IGTKI: Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia
HIMPAUDI: Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan prajabatan: upaya mempersiapkan sumber daya manusia sebelum mereka terjun ke dunia kerja
Pendidikan dalam jabatan: upaya pembinaan yang diberikan kepada mereka yang sudah menekuni dunia kerja’ 30
Profesi: suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap pekerjaan tersebut
Profesional: penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya
Profesionalisasi: proses menjadikan seseorang sebagai profesional melalui pendidikan prajabatan dan atau dalam jabatan.
Profesionalisme: derajat penampilan atau kinerja seseorang sebagai profesional, penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi
World Confederation of Organization for Teaching Profession: Konfederasi Organisasi Profesi Guru Dunia

VII. Daftar Pustaka

Beaty, Janice. (1994). Skills for Preschool Teacher.
Konseptualisasi dan Pemetaan Tatanan Kebijakan serta Sistem dan Program Pendidikan Anak Dini Usia: Hasil Perumusan Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Anak Dini Usia. (2003). Bandung Kerjasama DITJEN PLSP Depdiknas dengan Universitas Pendidikan Indonesia
Jalal, Fasli. (2003). Kebijakan Pembinaan Anak Usia Dini di Indonesia: Bahan Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Anak Dini Usia: Bandung: Kerjasama DITJEN PLSP Depdiknas dengan Universitas Pendidikan Indonesia
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Solehuddin, M. (2000). Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Supriadi, Dedi. (1998). Meningkatkan Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Tim Dosen Mata Kuliah Dasar-Dasar Kependidikan. (1987). Dasar- dasar Pengembangan Guru dan Profesinya dalam Dasar-dasar Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung 31
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI No. 20 TH. 2003). Jakarta: Sinar Grafika